Rabu, 22 Februari 2012

Biografi dan pemikiran Hamzah Fansuri


Pada abad XVII, Aceh merupakan tempat studi agama Islam, terkenal sampai ke tempat-tempat jauh di luar kepulauan Nusantara.
Pada zaman kejayaan Aceh itu, banyak dikunjungi oleh cendekiawan (ulama dan pujangga), baik dari mancanegara maupun domestik. Di antara mereka yang datang ada kemudian menetap di Aceh dan ada pula yang kembali ke negari asalnya. Selama di Aceh mereka ada yang berprofesi guru sebagai pengajar khususnya dalam ilmu agama dan ada juga sebagai pengarang kitab (buku) tentang berbagai cabang ilmu pengetahuan.
Di antara cendikiawan itu ialah Hamzah Fansuri yang sangat dikenal dan menjadi bahan studi ilmuan dan sastrawan hingga sekarang. Hamzah Fansuri seorang pujangga dan guru agama yang terkenal dengan ajaran tasawuf wujudiyah.1
Jasanya yang paling menonjol dalam bidang pendidikan adalah usahanya memperkaya bahasa Melayu menjadi bahasa ilmu pengetahuan yang tidak kalah dengan bahasa-bahasa ilmu pengetahuan dunia lain pada waktu itu. Oleh karena itu, Hamzah Fansuri dapat dianggap sebagai perintis pertama dalam mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa ilmu pengetahuan yang hingga sekarang berkembang pesat. Untuk itu artikel yang singkat ini membahas sekilas tentang sumbangan pemikiran Hamzah Fansuri terhadap dunia intelektual di Nusantara.


Riwayat Hamzah Fansuri
Hamzah Fansuri adalah seorang cendikiawan, ulama tasawuf, sastrawan, dan budayawan terkemuka, yang diperkirakan hidup antara pertengahan abad ke-16 hingga awal abad ke-17.
Hamzah Fansuri dapat dikatakan tokoh tasawuf dari Aceh yang membawa faham wahdatul wujud, banyak bersumber dari pemikiran Ibnu Arabi. Ajaran wahdatul wujud adalah ajaran yang meyakini bahwa Tuhan dapat bersatu dengan makhluknya atau serupa dengan pengertian pantheisme. Pendiriannya yang menunjukkan sifat wihdatul wujud dapat disebutkan di antaranya :
Jika seorang bertanya : jikalau zat Allah kepada semesta sekalian lengkap, kepada najis dapatkah dikatakan lengkap ? Maka jawab : seperti pada panas lengkap pada sekalian alam, kepada busok pun lengkap kepada baik pun lengkap, kepada jahat pun lengkap, kepada kaabah pun lengkap, kepada rumah berhala pun lengkap, kepada semesta sekalian pun lengkap ; kepada najis tiada ia akan najis, kepada busok tiada ia akan busok, kepada baik tiada ia akan baik, kepada jahat tiada ia akan jahat, dari kaabah tiada ia akan beroleh kebaikan, daripada rumah berhala tiada ia beroleh kejahatan. Sedangkan panas demikian, istimewa Allah subhanahu wa taala suci daripada segala suci, dimana ia akan najis dan busok.2
Riwayat hidupnya tidak banyak diketahui. Ia berasal dari Fansur, sebuah kota pantai di barat Sumatera bagian utara, arah ke selatan daerah Aceh (sekarang sebagian masuk dalam wilayah Sumatera Utara). Ciri khas negeri Fansur itu adalah penghasil kapur barus yang sangat terkenal di dunia pada saat itu.
Penelitian melalui karya Hamzah Fansuri sendiri hanya dapat memperjelas nama tempat kelahiran dan ciri-ciri khas tempat itu saja. Hal itu seperti terdapat dalam sebait syair dari kumpulan Syair Perahu Hamzah Fansuri :
“Hamzah nin asalnya Fansuri
Mendapat wujud di tanah Syahr Nawi
Beroleh Khilafat ilmu yang ‘ali
Daripada Abdul Qadir Jailani 3
Dalam karyanya yang berjudul Syair Jawi Fasal fi Bayan Ilmu al Suluk wal Tauhid, sebait dari syair itu berbunyi :
Hamzah gharib unggas quddusi
Akan rumahnya baital makmuri
Kursinya sekalian kapuri
Di negeri Fansuri minal asyari 4
Menurut perkiraan para ahli, Fansur meliputi daerah yang cukup luas, mulai dari Trumon (Aceh Selatan) hingga Natal (Sumatera Utara). Pelabuhan penting yang ada di daerah itu antara lain Natal, Barus, dan Singkil.
Hamzah Fansuri diperkirakan telah menjadi penulis pada masa Kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Alauddin Riayat Syah Sayid al-Mukammal (1588-1604). Dengan demikian, dapat diperkirakan pula bahwa ia sudah lahir pada awal abad ke-16. Tentang tahun meninggalnya tidak luput juga dari berbagai perkiraan. Menurut Muhammad Naguib al-Attas, Hamzah Fansuri diperkirakan meninggal menjelang tahun 1607, sedangkan L.F Brakel menyebutkan bahwa Hamzah Fansuri masih sempat hidup hingga tahun 1620.5
Ia banyak melakukan perjalanan, antara lain ke Kudus, Banten, Johor, Siam, India, Persia, Irak, Mekah, Madinah, dan lain-lain. Setelah pengembaraannya selesai, ia kembali ke Aceh dan mengajarkan ilmunya. Pada mulanya ia berdiam di Barus lalu ke Banda Aceh, kemudian ia mendirikan dayah di Oboh, Singkil.
Hamzah Fansuri termasuk orang yang sangat gemar dan mementingkan dalam mencari ilmu, terutama ilmu agama, khususnya tasawuf. Untuk itu ia tidak segan-segan berpergian jauh dengan waktu yang lama untuk tujuan tersebut. Namun perjalanannya tidak hanya untuk mencari ilmu pengetahuan tetapi juga untuk kepentingan amalan agama, terutama berkaitan dengan ajaran tasawuf yang dianutnya.
Dari perjalanan dan pencarian ilmu itu ia juga mampu menguasai beberapa bahasa asing dan bahasa lokal.

Pemikiran Hamzah Fansuri
Dari karya-karya yang ditulis mengenai Hamzah Fansuri menunjukkan kelebihan yang sangat menonjol dalam bidangnya dibandingkan dengan tokoh-tokoh lain pada masanya. Pada mulanya Hamzah Fansuri mempelajari ilmu tasawuf setelah menjadi anggota tarekat Qadiriyah yang didirikan oleh Abdul Qadir Jailani.
Valentijn, seorang sarjana Belanda yang mengunjungi Barus pada tahun 1706, mengomentari tentang Hamzah Fansuri :
Seorang penyair Melayu, Hamzah Fansuri…yakni seorang yang sangat terkemuka di lingkungan orang-orang Melayu oleh karena syair-syair dan puisi-puisinya yang menakjubkan, membuat kita karib kembali dengan kota tempat lahir sang penyair bilamana di dalam puisi-puisinya yang agung dia mengangkat naik dari timbunan debu kebesaran dan kemegahan masa lampau kota itu dan mencipta kembali masa-masa gemilang dan kebesarannya.6
Syair-syair Hamzah Fansuri yang diketahui tidak kurang 32 untaian. Syair-syairnya dianggap sebagai syair Melayu pertama yang ditulis dalam bahasa Melayu, yaitu sajak empat baris dengan pola bunyi akhir a a a a pada setiap barisnya.7
Ciri-ciri sajaknya yang menonjol di antaranya menjadi semacam konvensi sastra atau puisi Melayu klasik. Pertama, pemakaian penanda kepengarangan. Kedua, banyak petikan ayat Alquran, hadis, pepatah, dan kata-kata Arab. Itu menunjukkan derasnya proses Islamisasi yang untuk pertamakalinya melanda bahasa, kebudayaan dan sastra Melayu abad ke-16. Ketiga, dalam setiap bait terakhir syairnya selalu mencantumkan takhallus (nama diri)8, yaitu nama julukan yang biasanya didasarkan pada nama tempat kelahiran penyair atau tempat ia dibesarkan. Keempat, terdapat pula tamsil dan citraan-citraan simbolik atau konseptual yang biasa digunakan oleh penyair-penyair Arab dan Persia dalam melukiskan pengalaman dan gagasannya. Kelima, karena paduan yang seimbang antara diksi (=pilihan kata), rima dan unsur-unsur puitik lainnya.
Syair-syair Hamzah Fansuri menciptakan suasanan ekstase dalam pembacaannya, seperti halnya suasana para sufi saat melakukan wirid, yaitu konser musik yang disertai zikir, nyanyian, dan pembacaan sajak. Ciri lain yang dapat ditambahkan sebagaimana puisi penyair sufi pada umumnya, syair-syair Hamzah Fansuri memadukan metafisika, logika, dan estetika secara seimbang.9
Winstedt mengatakan bahwa syair-syair Hamzah Fansuri kebanyakan memakai irama pantun, meskipun urutan sajaknya mengikuti urutan sajak syair. Mengenai syair Hamzah Fansuri, C. Hoykas dalam bukunya Perintis Sastra mengemukakan pendapat antara lain bahwa karangan-karangan Hamzah Fansuri bukan saja banyak memakai nama-nama Arab tetapi juga banyak mempergunakan kata-kata Arab di dalamnya. Oleh karena itu, karangan-karangan Hamzah Fansuri tidak mudah dipahami oleh orang biasa.
Pengaruh Hamzah Fansuri cepat tersebar di seluruh tempat di Indonesia dan Malaysia terutama melalui pengajaran-pengajaran yang beliau berikan selama perantauan ke berbagai tempat dan melalui karya-karyanya yang tersebar di seluruh Asia Tenggara. Murid-muridnya pun tersebar pula di mana-mana.
Hamzah Fansuri bukan saja seorang ulama tasawuf dan sastrawan terkemuka tetapi juga seorang perintis dan pelopor pembaharuan. Sumbangannya sangan besar bagi perkembangan kebudayaan Islam di Nusantara, khususnya di bidang kerohanian, keilmuan, filsafat, bahasa, dan sastra.
Di bidang keilmuan, Hamzah Fansuri telah mempelopori penulisan risalah tasawuf atau keagamaan yang demikian sistematis dan bersifat ilmiah. Sebelum karya-karya Hamzah Fansuri muncul, masyarakat Melayu mempelajari masalah-masalah agama, tasawuf, dan sastra melalui kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab dan Persia. 10
Dalam bidang sastra, Hamzah Fansuri mempelopori pula penulisan puisi-puisi filosofis dan mistis bercorak Islam. Kedalaman kandungan puisi-puisinya sukar ditandingi oleh penyair lain yang sezaman bahkan sesudahnya. Dalam bidang kesusastraan pula, ia orang pertama yang memperkenalkan syair dan puisi empat baris dengan skema sajak akhir a a a a seperti telah disinggung sebelumnya. Dilihat dari strukturnya, syair yang diperkenalkan oleh Hamzah Fansuri seolah-olah merupakan perpaduan antara sajak Persia dengan pantun Melayu. 11
Hamzah Fansuri juga telah berhasil meletakkan dasar-dasar puitika dan estetika Melayu. Pengaruh itu masih dapat diamati jauh setelah ia mati bahkan hingga sekarang, seperti dalam karya penyair Pujangga Baru, sastrawan angkatan 70-an dan sebagainya, berada dalam satu jalur estetik dengan Hamzah Fansuri.
Bidang kebahasaan, Hamzah Fansuri telah memberikan beberapa sumbangan. Pertama, sebagai penulis pertama kitab keilmuan dalam bahasa Melayu, ia berhasil mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa intelektual dan ekspresi keilmuan yang hebat. Dengan demikian, kedudukan bahasa Melayu di bidang penyebaran ilmu dan persuratan menjadi sangat penting dan mengungguli bahasa-bahasa Nusantara lainnya pada waktu itu. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila pada sekitar abad ke-17, bahasa Melayu menjadi bahasa pengantar pada berbagai lembaga pendidikan Islam, bahkan digunakan pula oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai bahasa administrasi dan bahasa pengantar di sekolah-sekolah pemerintah. Itulah yang telah memberikan peluang besar terhadap bahasa Melayu bukan saja untuk berkembang maju tetapi juga untuk dipilih dan ditetapkan menjadi bahasa persatuan dan kebangsaan Indonesia.
Sumbangan/pemikiran selanjutnya mengenai kebahasaan dapat dibaca dalam syair-syair dan risalah-risalah tasawuf Hamzah Fansuri, sangat besar jasanya dalam proses Islamisasi bahasa Melayu. Islamisasi bahasa sama saja dengan Islamisasi pemikiran dan kebudayaan. Syair-syairnya bukan saja memperkaya perbendaharaan kata bahasa Melayu tetapi juga mengintegrasikan konsep-konsep Islam dalam berbagai bidang kehidupan dalam sistem bahasa dan budaya Melayu.
Dalam bidang filsafat, ilmu tafsir dan telaah sastra, Hamzah Fansuri telah pula mempelapori penerapan metode takwil atau hermeneutika keruhanian. Sebagai contoh, dalam tulisannya Rahasia Ahli Makrifat, Hamzah Fansuri menganalisis dengan tajam dan dengan landasan pengetahuan yang luas mencakup metafisika, teologi, logika, epistemologi, dan estetika.12
Murid Hamzah Fansuri yang terkenal ialah Syekh Syamsuddin bin Abdullah as Samathrani, sangat berpengaruh dalam kehidupan keagamaan di Kesultan Aceh Darussalam, terutama pada masa pemerintahan Sayid al Mukammal dan Sultan Iskandar Muda. Pendirian Syekh Syamsuddin itu merupakan cerminan pendirian Hamzah Fansuri. Hal itu tidah saja dapat dilihat dari seluruh karya Syamsuddin, bahkan karyanya tersebut dapat dianggap memperjelas pendirian Hamzah Fansuri. Salah satu pandangan dan uraian Syamsuddin atas karya Hamzah Fansuri berjudul Ruba-i Hamzah Fansuri.

Perbedaan Faham
Setelah Sultan Iskandar Muda meninggal, ajaran Hamzah Fansuri dan Syamsuddin mengdapat serangan hebat dari ulama besar lainnya yaitu Nuruddin Ar-Raniri dan Abdurrauf Al Singkili. Bentuk dan sifat pertentangan ini berpangkal pada adanya dua aliran dalam ilmu tasawuf yang memang sulit untuk dikompromikan. Aliran pertama seperti sudah disebutkan yaitu wujudiyah, teori ini merupakan monisma (serba esa). Menurut ahli tasawuf dari aliran itu, dunia hanyalah emanasi atau pancaran dari inti sari yang tidak tercipta. Aliran yang kedua wihdatussyuhud yakni kesatuan persaksian.
Pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda sebenarnya telah ada benih-benih pertentangan kedua aliran tasawuf tersebut tetapi dengan kebijaksanaan Sultan Iskandar Muda pertentangan itu tidak sampai menimbulkan kekacauan di lapangan kehidupan keagamaan. Sesudah Sultan Iskandar Muda mati maka Syekh Nuruddin Ar Raniri berhasil mempengaruhi Sultan Iskandar Sani untuk meberantas ajaran-ajaran Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As Samathrani yang dianggap olehnya sebagai ajaran sesat. Buku-buku karya Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as Samathrani dibakar dan dimusnahkan.13 Rakyat Aceh dilarang menganut faham kedua tokoh tersebut.
Tentang karya dan pemikiran-pemikiran Hamzah Fansuri banyak yang sulit difahami, oleh sebab itu telah mengakibatkan pula penafsiran-penafsiran yang berbeda terhadap buah pikirannya. Monteil menyimpulkan dengan mengutip sebagian tulisan P. Zoetmulder : mungkin P. Zoetmulder yang benar, kalau menulis bahwa Ar-Raniri yang merupakan muslim terbaik, tetapi Syamsuddin adalah ahli pikir yang terbaik. Bagaimana kita tidak boleh mengagumi syair perahu dari Hamzah Fansuri yang wujud Allah nama perahunya.

Karya-Karya Hamzah Fansuri
Karya-karya Hamzah Fansuri dapat disebutkan, di antaranya yang berbentuk syair antara lain Syair Burung Pinggai, Syair Burung Pungguk, Syair Perahu, dan Syair Dagang. Adapun yang berbentuk prosa di antaranya Asrar al Arifin fi Bayan Ilmi as Suluk wa at Tauhid (keterangan mengenai perjalanan ilmu suluk dan keesaan Tuhan) dan Syarah al Asyiqin (minuman orang-orang yang cinta kepada Tuhan).
Kecuali Syair Dagang, syair-syair Hamzah Fansuri bersifat mistis dan melambangkan hubungan Tuhan dengan manusia. Syair Dagang bercerita tentang kesengsaraan seorang anak dagang yang hidup di rantau. Syair Burung Pinggai bercerita tentang burung pinggai yang melambangkan jiwa manusia dan Tuhan. Dalam syair itu, Hamzah Fansuri Mengangkat satu masalah yang banyak dibahas dalam tasawuf, yaitu hubungan satu dan banyak. Yang esa adalah Tuhan dengan alamnya yang beraneka ragam. Adapun puisinya Syair Perahu melambangkan tubuh manusia sebagai perahu layar di laut. Pelayaran itu penuh marabahaya. Apabila manusia kuat memegang keyakinan akan Tuhan maka dapat dicapai suatu tahap yang menunjukkan tidak adanya perbedaan antara Tuhan dengan Hambanya.
Prosa Asrar al Arifin fi Bayan Ilmi as Suluk wa at-Tauhid antara lain berisi pandangan Hamzah Fansuri tentang makrifat Tuhan, sifat Tuhan, dan nama Tuhan. Dalam karya ini ia mengatakan bahwa pada dasarnya syariat, hakikat, dan makrifat adalah sama.
Syarah al Asyiqin atau sering disebut Asrar al Asyiqin (rahasia orang-orang yang mencintai Tuhan) dan Zinal al Muwahhidin (perhiasan orang yang mengesakan Tuhan). Buku itu berisi antara lain tentang perbuatan syariat, perbuatan tarikat, perbuatan hakikat, perbuatan makrifat, kenyataan zat Tuhan, dan sifat-sifat Tuhan. Di sini Hamzah Fansuri memandang Tuhan sebagai yang maha sempurna dan yang maha mutlak. Dalam kesempurnaan itu, Tuhan mencakup segala-galanya. Apabila tidak mencakup segala-galanya, Tuhan dapat disebut maha sempurna dan maha mutlak, karena mencakup segala-galanya maka manusia juga termasuk dalam Tuhan.14

Penutup
Hamzah Fansuri, ulama sufi, sastrawan dan cendekiawan yang hidup pada pertengahan abad ke-16 dan awal abad ke-17 di Fansur, meninggal dan dikuburkan di Desa Oboh Kecamatan Rundeng Kabupaten Aceh Singkil.15
Kehidupan Hamzah Fansuri tidak terlepas dari proses alur sejarah secara langsung maupun tidak langsung terikat dengan perjalanan agama Islam di Nusantara. Aliran tasawuf berdasarkan faham wujudiyah yang diaplikasikan dalam kehidupan dan dipaparkan dengan lirik sastra Melayu merupakan orang pertama yang mempelopori pengembangan sastra Melayu di Nusantara.
Membicarakan Hamzah Fansuri sebagai tokoh fenomenal, baik sebagai penyair, ulama dan sekaligus intelektual maka tidak akan habis-habis untuk mengurai segi-segi kehidupan maupun karya-karyanya. Sebagai penyair Melayu klasik namanya tetap abadi. Ia adalah seorang penyair besar, sekaligus seorang ulama yang mengemukakan ide-idenya melalui puisi maupun prosa. Pikiran-pikiranya tentang masalah keagamaan terutama tentang hubungan manusia dengan Tuhannya, yang dalam faham keagamaan pikiran-pikiran Hamzah Fansuri dimasukkan dalam kategori wujudiyah.
Karya tulis Hamzah Fansuri dapat dikatakan sebagai peletak dasar bagi peranan bahasa Melayu sebagai bahasa keempat di dunia Islam setelah bahasa Arab, Persia, dan Turki Usmani pada waktu itu. Karya-karya Hamzah Fansuri tersebar berkat jasa Sultan Iskandar Muda yang mengirimkan kitab-kitab karya Hamzah Fansuri antara lain ke Melaka, Kedah, Sumatra Barat, Kalimantan, Banten, Gresik, Kudus, dan Ternate.16
1Mengenai aliran wujudiyah dapat dibaca, misalnya, Syed Muhammad Naguib al Attas, “Raniri and the wujudiyah of 17th century Acheh”, Monographs of the Malaysia Branch Royal Asiatic Society III, Malaysia Printeds Ltd, Singapore, 1966.
2R.O. Winsted, hlm. 118.
3Syed Muhammad Naguib Al Attas, The Misticism of Hamzah Fansuri, Universitas of Malaya Press, Kuala Lumpur, 1970, hlm. 9.
4 Ibid. hlm. 8.
5L.F. Brakel, “The Birth Place of Hamzah Fansuri”. JMBRAS , 1969, vol. 42, part 2
6 A. Teew, “The Malay Sha’ir-Problems of Origin and Tradition”, BKI, 122, 1966, hlm. 429-447.
7 S.M. Nguib al Attas, The Origin of the Malay Sha’ir, Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka, 1968.
8Takhallus, nama julukan yang lazim digunakan para penulis Arab dan Persia, khusus penulis sufi dan khususnya pula semenjak abad ke-13. Penyair Persia biasa mencantumkan nama diri apabila menulis ghazal, yaitu pada bait terakhir setiap untaian ghazal.
9 S. Hossein Nasr, Islamic Art and Spirituality, Cambridge : Golgonoza Press, 1987, hlm. 129-130.
10 Abdul Hadi W.M., Hamzah Fansuri : Risalah Tasawuf dan Puisi-Puisinya, Bandung : 1995, hlm. 14.
11 Ibid., hlm. 15.
12 Ibid., hlm. 16-17.
13 Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh Nuruddin ar Raniri, Jakarta : Rajawali Press, 1983, hlm. 41.
14 Ensiklopedi Islam, 1994 : 79.
15 Namun menurut Ludwick Kallus dari Universitas Sorbon Paris dan C. Guillot dari Ecole des Haute Etude en Scince Sociales Paris yang keduanya telah mempelajari tokoh-tokoh dunia intelektual. Mereka menjelaskan dan juga telah memperoleh foto makam Hamzah Fansuri bahwa Hamzah Fansuri mati dan dimakamkan di kompleks pemakaman Ma’la Mekah. Kuburnya lengkap dengan batu nisannya memuat tulisan yang menyatakan bahwa Hamzah Fansuri mati pada tahun 1627, Hasan Muarif Ambari, “Hamzah Fansuri : Ulma Besar dan Kualitas Intelektualnya”, Makalah Seminar Internasional Menelusuri Jejak Hamzah Fansuri, Singgkil, 15-17 Januari 2002.
16 Ensiklopedi Islam, 1994 : 79.

Diposkan oleh Dirman Manggeng di 23:17 http://img2.blogblog.com/img/icon18_edit_allbkg.gif

Label: Sejarah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar