Rabu, 22 Februari 2012

Kearifan Lokal dalam Wawacan Sulanjana: Tradisi Menghormati Padi pada Masyarakat Sunda di Jawa Barat, Indonesia Kearifan Lokal dalam Wawacan Sulanjan

Kearifan Lokal dalam Wawacan

Sulanjana: Tradisi Menghormati Padi

pada Masyarakat Sunda di Jawa Barat,

Indonesia

oleh: Dr. Kalsum adalah Dosen pada Jurusan Bahasa dan Sastra Sunda, Fakultas Sastra UNPAD (Universitas

Padjadjaran); dan Ketua Konsentrasi Filologi Program Ilmu Sastra, Pascasarjana UNPAD

Bandung, Jawa Barat, Indonesia. Untuk kepentingan akademik, beliau boleh dihubungi

dengan alamat e-mail: kalsum_pratoyo@yahoo.com

PENDAHULUAN

Makanan pokok beras dikenal dalam berbagai bahasa, contoh: bahasa

Indogerman, rice; Mesir, ruz; Latin, orizae; Jepang, kome; dan Vietnam,

brah (Gazaldun, 1974:12-20). Istilah-istilah yang beragam tersebut tampak

memiliki dasar ucapan yang mirip, kecuali kome (dalam bahasa Jepang). Hal

itu dimungkinkan karena sejak zaman dahulu, beras sebagai makanan pokok

digunakan di wilayah lebih luas lagi daripada sekarang, dan ianya berasal

dari wilayah yang sama. Bahan pangan yang dalam prosesnya melalui padi

kemudian beras, dan menjadi nasi merupakan makanan pokok di sebagian

besar masyarakat Nusantara.

Terhadap makanan pokok ini pernah ada upaya-upaya pemerintah – sejak

pemerintahan Presiden pertama, Ir. Soekarno, sampai dengan sekarang – untuk

dikurangi atau diganti dengan makanan lain yang kandungannya memadai

bagi kebutuhan tubuh manusia, antara lain dengan jagung dan umbi-umbian.

Namun beras, untuk masyarakat kebanyakan, tetap menjadi makanan pokok

yang paling utama yang tak tergantikan. Selain sebagai makanan pokok

yang tak tergantikan, padi juga merupakan sesosok tumbuhan yang sangat

dihormati. Tumbuhan ini dianggap penjelmaan dari Dewi Sri.

Kisah padi yang dikaitkan dengan Dewi Sri ini terdapat di Bali, Jawa

Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat (Kalsum, 1983). Namun ceritanya satu

dengan lain sangat berbeda-beda. Asal-usul Dewi Sri ini mengingatkan pada

nama Lakshmi atau Çri, istri Vishnu, suami-istri ini dalam kehidupan sebagai

Dewi Kesuburan atau Dewi Kemakmuran dan Dewa Kekayaan atau Dewa

Kesejahteraan (Wojowasito, 1976:62). Selama musim hujan, Vishnu tidur

di atas naga besar. Tentang naga ini kemudian dimitoskan sebagai ciri-ciri

kesuburan. Mengenai Vishnu dan Lakshmi atau Çri ini kemudian mewarnai

sejumlah folklor yang ada hubungannya dengan kemakmuran dan kekayaan

(Danandjaja, 1984).

Di sejumlah daerah di Jawa Barat dan di Banten (masyarakat Sunda),

padi sering disebut Nyi Sri atau Nyi Pohaci. Karena asal-usul itulah kemudian

menyebabkan penghormatan kepada padi. Penghormatan masyarakat

terhadap makanan pokok padi di wilayah Jawa Barat dan Banten ini selama

proses pengerjaan sampai penggunaan, sejak pra-tanam sampai pasca-panen,

yakni dari sebelum penaman sampai memasukan padi ke leuit (lumbung

padi), menjadi beras, menanak nasi, dan memakannya. Selama proses tersebut

masyarakat Sunda sangat hormat, berhati-hati, dengan membina kebersamaan

dan menjauhkan diri dari keserakahan. Fenomena ini tampak dari perilaku nonverbal

dan verbal, berupa folklor yang dilakukan secara turun-temurun yang

masih tampak sampai kini, perilaku tersebut diturunkan secara unconscious

transference (Danandjaja, 1984).

Sebelum nasi menjadi makanan pokok, dilihat dari sudut kebahasaan,

diperkirakan makanan pokok masyarakat Sunda kuna adalah hui atau umbiumbian

dalam pengertian generik. Keadaan ini dapat dilihat dari sejumlah

fenomena yang kini masih tampak, seperti tabu seorang anak menyebut

nama ”ibu”, karena akan berakibat hapa hui atau umbi-umbian tidak berisi.

Ada permainan anak-anak yang dilakukan dengan cara bersahut-sahutan,

sebagai berikut:

– Tok, tok, tok.

+ Saha eta? (Siapa itu?)

– Nini jeung aki. (Nenek dengan kakek)

+ Rek naon? (Mau apa?)

– Rek menta hui ... (Mau meminta umbi ...)

Dalam naskah ini, kata nini dan aki bisa diartikan nenek-moyang perempuan

dan laki-laki. Dari permainan yang berasal dari masa kuna ini tampak bahwa

hui atau umbi-umbian menduduki peranan di masyarakat.

Istilah penggunaan hui ini sangat menarik untuk ditelusuri lebih lanjut

dalam hubungannya dengan kata lain. Di daerah Jawa Barat seperti Ciamis,

misalnya, hui kumeli berarti ”kentang”; di daerah Bandung dan sekitarnya, hui

boled berarti ”ubi jalar”; di daerah Sukabumi, hui berarti ”ketela pohon”; dan di

daerah Majalengka, hui berarti umbi-umbian meliputi beberapa jenis, seperti

antara lain hui manis, hui jahe, hui legi, dan hui kamayung. Dilihat dari istilah

yang artinya beragam tersebut, pada masa lalu kata hui memiliki pengertian

generik yang membawahi bermacam-macam jenis umbi-umbian.

Umbi-umbian ini, pada upacara ritual kandungan ibu berusia 7 bulan

memiliki peranan juga, yakni di antaranya harus ada bermacam-macam

sesajen atau sesajian umbi-umbian. Sesajen ini kiranya sebagai mantra nonverbal

supaya bayi yang akan dilahirkan tidak kurang pangan. Pemahaman

ini dengan analogi menabur beras dalam sawer ritual pengantin. Kata hui

dengan referent yang beragam menunjukan bahwa hui merupakan pengertian

generik untuk merujuk pada pengertian umbi-umbian yang diperkirakan

menjadi bahan makanan pokok masyarakat Sunda Kuno sebelum adanya

padi. Namun menurut seorang jurupantun, Saein, dari Majalengka (1980),

sebelum adanya padi, masyarakat Sunda memakan jawawut, yakni semacam

makanan burung (dalam Kalsum, 1991). Sangat sulit untuk menerka secara

tepat mengenai makanan pokok ini, sebab fenomena yang nampak masa kini

masyarakat sangat sulit berganti makanan pokok padi, dan umbi-umbian

hanya dipandang sebagai makanan sampingan.

PENGHORMATAN TERHADAP PADI

Penghormatan terhadap nasi/beras/padi, nampak dari folklor non-verbal,

yakni berbagai perilaku keharusan dan tabu. Keharusan tersebut dalam berbagai

hal antara lain sebagai berikut: Nyawen/nyalin ketika panen, yakni membuat

pupuhunan atau saung sanggar yang di dalamnya berisi bermacam-macam

sesajen. Fenomena ini masih ditemukan pada tahun 1980-an hingga 1990-an di

Majalengka dan Sumedang (Kalsum, 1991); dan di Kabupaten Bandung masih

nampak sampai sekarang. Di berbagai tempat, di atas beras yang akan dicuci

di pancuran harus disawenan atau ”ditutupi daun pisang”, walaupun secuil

kecil. Leuit atau lumbung padi memiliki bentuk yang sama, dengan bambu

bersilangan di bagian ujung atap (lihat di daerah Baduy, Banten). Pada masa

lalu ditemukan leuit di Talaga, Kabupaten Majalengka, dimana pada bagian

ujung atap itu terdapat dua ekor ukiran naga. Hal ini pada sebuah naskah

disebut dengan istilah naga pateungteung, dan kedua naga itu mengingatkan

kita sebagai lambang dari Dewi Kesuburan dan Dewa Kekayaan.

Hal lainnya nampak dari tradisi sebagai berikut: Pada masa lalu, alat

memasak padi atau disebut juga peralatan dapur, sebelum ada alat masak

elektronik, secara turun-temurun tetap memakai alat tertentu seperti dalung/

seeng, aseupan/kukusan, dulang/pane atau tempat membuat karon dan tempat

mendinginkan nasi yang terbuat dari kayu, dan lain-lainnya. Bentuk pangarih,

yakni alat membolak-balik nasi dengan centong/cukil di beberapa daerah

memiliki bentuk ular.

Rasa kebersamaan atau rasa memiliki terhadap padi nampak dari fenomena

sebagai berikut: Dalam ritual padi, terdapat fenomena rasa kebersamaan antar

tetangga yang dibangun dalam penyelenggaraannya, yakni memakan sesajen

atau makanan yang terdapat pada saung sanggar, dan memberikan beras yang

baru kepada tetangga dengan istilah ngaleuseuhan. Lihat pula pada uraian

berikut ini:

Selain tradisi tersebut, ada pula sejumlah tabu, antara lain membuang padi, beras atau

nasi. Tabu pula bersiul di dalam rumah karena Dewi Sri atau Dewi Padi akan ketakutan.

Perilaku tabu menjual padi, beras, atau nasi ini masih diperolehi keterangan dari berbagai

daerah. Sikap taat terhadap tabu ini di warung-warung makan disiasati dengan cara ikrar

bahwa nasi tidak diperjualbelikan, tapi diberikan secara cuma-cuma, yang harus dibayar

adalah hanya lauk-pauknya saja. Dari tradisi ini dapat ditangkap juga bahwa padi/beras/

nasi tidak boleh dijualbelikan dengan makna yang lebih dalam, yaitu padi sebagai milik

bersama dan harus dilindungi dari keserakahan jual-beli (Kalsum, 1991).

Bentuk penghormatan jenis lain terhadap padi adalah mantra. Mantra itu

ada yang berupa mantra non-verbal dan mantra verbal. Mantra non-verbal di

Jawa Barat dan Banten terdapat, antara lain, sesajen yang disediakan pada saung

sanggar di sawah, di leuit, dan di pabeasan/padaringan atau tempat menyimpan

beras. Sebagai contoh, bentuk saung sanggar di Majalengka terdapat anyaman

dari daun kelapa dan rangkaian dedaunan yang sangat indah menyerupai ular.

Pada setiap leuit di Baduy, Banten, di bagian luarnya selalu digantungi oleh

dedaunan, antara lain daun pepek atau daun penuh. Sesajen yang disediakan,

selain makanan di antaranya terdapat daun sulangkar dan jawer kotok. Kiranya

semuanya itu merupakan satu rangkaian, yang satu dengan lainnya berkaitan.

Daun sulangkar memiliki makna ulah sulaya, ulah ingkar, yang artinya ”jangan

tidak menepati janji” (Pikiran Rakyat, 31/3/1991), terutama yang ditujukan

kepada Dewi Sri, yang menumbuhsuburkan kehidupan manusia. Pernyataan

ini tersirat pula pada mantra yang diungkapkan bahwa Dewi Sri jangan

mengingkari janji untuk memakmurkan manusia (Kalsum, 1991). Dewi Sri

sendiri dipandang sebagai regenerasi dari umat manusia (Wessing, 1990).

Adapun mantra verbal dibedakan antara mantra non-naratif dan mantra

naratif. Mantra non-naratif ditemukan pada berbagai daerah di Jawa Barat

mulai dari pra-penanaman, proses pertumbuhan padi, dan pasca-panen,

yakni perlakuan terhadap beras, masak padi, dan memakannya. Mantra prapenanaman

dimulai dari proses mitembeyan macul atau mulai mencangkul, tebar

atau menebarkan padi untuk bibit, dan babut atau mencabut tanaman padi yang

baru tumbuh untuk ditanam. Mantra proses pertumbuhan padi dimulai dari

tandur atau menanamkan benih padi di sawah, nimang pare keur lilirna atau

mantra tanaman padi setelah beberapa hari ditanam, ngarambet atau menyiangi

rumput, hejo tangkal alus daun atau mantra ketika tanaman padi tumbuh dengan

subur, mapak daun atau batang padi mulai tinggi dan daunnya subur, pare gede

atau biji padi mulai berisi, nyegah hama atau mencegah hama, ngala indung pare

atau memotong padi yang bagus untuk penanaman berikutnya, dan mitembeyan

mipit/mitembeyan dibuat/nyalin atau mulai memotong padi (Kalsum, 1991).

Mantra pasca-panen ditemukan dalam kata-kata seperti mupul eundan atau

mengikat padi, ka leuit atau berjalan menuju lumbung padi, di leuit atau di

lumbung padi, muka panto leuit atau membuka pintu lumbung padi, ngasupkeun

pare ka leuit atau memasukan padi ke lumbung padi, ngelep pare di leuit atau

menata padi di lumbung padi, netepkeun pare di leuit atau menghibur Dewi Sri

supaya betah di lumbung padi, dan nanghikeun pare atau membangunkan Dewi

Sri/Dewi Padi ketika mengambilnya.

Di daerah Jawa Barat, leuit sudah sulit ditemukan lagi, namun mantranya

masih disebut-sebut dan digunakan. Adapun mantra apabila padi sudah

menjadi beras adalah sebagai berikut:

Ngasupkeun beas ka padaringan atau memasukkan beras ke tempat menyimpan beras yang

terbuat dari tanah, ngukus padaringan atau membakar kemenyan di tempat menyimpan

beras yang terbuat dari tanah, nyiuk beas atau mengambil beras dari tempat menyimpan

beras yang terbuat dari tanah dan biasanya dengan batok kelapa. Mantra dalam proses

menanak nasi ditemukan kata-kata ngagigihan atau membolak-balik beras yang sedang

dimasak, ngajungjungkeun sangu dina aseupan atau mengangkat nasi dari kukusan (tempat

menanak nasi berbentuk segi tiga), ngakeul atau mendinginkan nasi di dulang (tempat

menyimpan nasi terbuat dari kayu dan berbentuk bulat), dan netelkeun sangu atau

mengepal nasi dan menutulkannya ke garam. Terakhir, memakannya pun ditemukan

mantra-mantra pula, dan semua mantra itu merupakan perlakuan yang santun kepada

Dewi Sri (Kalsum, 1991).

Adapun mantra naratif untuk ritual dalam siklus penanaman padi di daerah

Jawa Barat, diantaranya adalah Wawacan Ogin (di Kabupaten Bandung), Cerita

Wayang Dewi Sri (ditemukan di daerah Majalengka), Cerita Pantun Sri Sadana,

dan Wawacan Sulanjana (digunakan di seluruh daerah Jawa Barat).

NASKAH DAN TEKS WAWACAN SULANJANA

Mantra naratif seperti Cerita Pantun Sri Sadana dan Cerita Wayang Dewi Sri

berada dalam kelisanan. Adapun Wawacan Ogin dan Wawacan Sulanjana berada

dalam tradisi tulisan. Tradisi tulisan jelas memiliki relatif kestabilan daripada

tradisi lisan. Wawacan Ogin dan Wawacan Sulanjana, keduanya dibacakan pada

ritual kehamilan, kelahiran bayi, dan siklus penanaman padi. Dibandingkan

dengan Wawacan Ogin, maka Wawacan Sulanjana isinya lebih dekat dan ada

hubung-kaitnya dengan masalah padi. Oleh karenanya Wawacan Sulanjana

lebih dikenal oleh masyarakat Jawa Barat dengan bukti bahwa ianya terdaftar

didalam katalogus naskah yang sangat banyak (Ekadjati et al., 1985).

Teks Wawacan Sulanjana tidak begitu panjang, yakni sekitar kurang-lebih 300

pada atau bait saja. Naskah-naskah Wawacan Sulanjana, karena dipakai ritual,

penyalinannya sering dilakukan tanpa sumber karena memang penulisnya

sudah sangat hafal. Penyalinan yang demikian menimbulkan perbedaan

bacaan pada teks yang satu dengan lainnya, sehingga antara peristiwa yang

satu dengan yang lainnya tidak sesuai urutan, atau terjadi penyisipan dan

pengurangan. Walaupun demikian, alur pokoknya tidak berubah. Apabila

ditelusuri, teks-teks naskah tersebut berasal dari naskah otograf (naskah

pertama yang dikarang oleh penulisnya) yang sama. Namun ada kalanya

apabila dibandingkan dengan naskah-naskah dari tempat yang jauh, teks-teks

naskah ini bisa dikatakan berbeda versi karena terdapat perbedaan urutan

pupuh, perbedaan nama tokoh, atau terjadi pergeseran peristiwa. Walaupun

demikian masih tampak benang merah yang menunjukan kesamaan kisah.

Tidaklah aneh kalau judul teks naskah tentang mite padi ini memiliki judul

yang berbeda, antara lain: Babad Sawergaloka, Wawacan Dewi Sri, Wawacan

Babarit, dan Wawacan Sulanjana. Judul yang paling dikenal oleh masyarakat

adalah Wawacan Sulanjana (Kalsum et al., 2001).

Apakah sikap masyarakat dalam kehati-hatian terhadap padi, seperti

dipaparkan sebelumnya, ada kaitannya dengan mite yang terkandung di

dalam Wawacan Sulanjana itu? Walaupun bentuk wawacan dalam khazanah

keksusastraan Sunda baru muncul sekitar abad ke-17, namun mite padi sudah

ada dalam periode yang sangat tua. Menurut Johannes Jacobus Ras (1968), cerita

Sri-Sedana merupakan mite nenek moyang dari masyarakat primitif di Jawa.

Oleh karenanya dalam Wawacan Sulanjana, walaupun kisah keseluruhan dapat

difahami, namun detil-detil bacaan di sana-sini seringkali tidak dapat difahami,

antara lain tokoh utama Sulanjana dengan ada pula nama Sri – Sedana yang

muncul begitu saja tanpa ada kaitan dengan kisah.

Tampaknya mite ini sudah ada sejak zaman kuno sehingga para penyandang

aktif dari kisah ini yang menjadi para penerima dari generasi setiap zaman

tidak mengetahui lagi makna kata atau unsur kepercayaan yang berada di

dalamnya. Hal ini nampak juga pada istilah-istilah ritual dan penanaman,

memiliki kata-kata arkhaik, berasal dari bahasa kuno, yang hanya digunakan

pada peristiwa pertanian, contohnya antara lain: mitembeyan, dari tembey artinya

”mulai”; dan tandur artinya ”menanam”. Ketika membajak, muncul kata mideur,

dari umideur yang artinya ”berkeliling”; dan kiya-kiya, dari gya yang artinya

”cepat”. Mite padi ini merupakan perjalanan hidup Dewi Sri sampai kepada

penjelmaannya menjadi tanam-tanaman yang sangat berguna bagi manusia,

terutama padi. Antara kisah dan perilaku masyarakat dengan mantra-mantra

merupakan mata rantai dari kepercayaan yang sangat kuno.

Tokoh penting dalam kisah ini sebenarnya adalah Dewi Sri, namun sangat

sedikit masyarakat yang menyebutnya sebagai Wawacan Dewi Sri. Dalam tradisi

sastra Sunda Lama, terdapat tokoh-tokoh penting wanita. Dalam pemberian

judul karya, tokoh wanita ini tergeser oleh tokoh laki laki, contoh antara lain

Wawacan Purnama Alam, Wawacan Suryaningrat, dan Wawacan Danumaya. Namanama

tersebut merupakan suami dari tokoh-tokoh wanita yang luar biasa.

Seperti disebut sebelumnya bahwa Nyi Sri atau Puhaci/Pohaci digunakan

untuk menyebut nama padi. Puhaci kemungkinan berasal dari kata Pwah Aci

yang disebut-sebut pada mantra padi. Dewi Sri menempati tempat tinggi

dalam alam kepercayaan masyarakat kuno yang fenomenanya masih nampak

pada masa kini. Dalam kosmologi masyarakat Kanekes di Baduy, Banten, ada

tiga Buwana atau Dunia, yang tertinggi dinamakan Buwana Nyungcung, yaitu

persemayaman Nu Ngersakeun atau ”Yang Maha Pencipta”. Persemayaman

Sunan Ambu dengan Nyi Pohaci Sanghiyang Asri sangat dekat dengan

Buwana Nyungcung, yakni sagorolong jeruk nipis atau ”sejauh gelinding jeruk

nipis”(Danasasmita et al., 1986:78).

Di dalam mantra-mantra, ada nama Dewi-dewi lain yang sering disebut

seperti, antara lain, Sunan Ambu Ratna Rarang, Pohaci Laksa Rarang, Pohaci

Mayasari, Nyi Mas Dangdayang Runday Sari Nyi Pohaci, dan Dewi Sri. Di

dalam Wawacan Sulanjana, tokoh Dewi Sri berasal dari air mata Dewa Anta

yang bentuk badannya ular. Dalam mantra sering diseru dengan nama Sang

Kokok Rarang. Penjaga padi Nagaraja sebagai Dewa Kesejahteraan atau Dewa

Kekayaan, yakni Wisnu, dan Dewi Sri sebagai Dewi Kemakmuran. Ungkapan

ini ditemukan pada Cerita Pantun Sri Sadana, sebagai berikut:

[...] ka luhur ka Sang Rumuhun, ka handap ka Sang Batara, ka Batara Naga Raja, ka Batari Naga

Sugih.

Artinya:

[...] ke atas kepada Sang Rumuhun, ke bawah kepada Sang Batara, kepada Batara Naga

Raja, kepada Betari Naga Sugih.

Ungkapan tersebut di atas memperlihatkan bahwa Wisnu dalam penjelmaan

ular Naga dengan peranan sebagai Raja Kesejahteraan dan istrinya sebagai

Dewi Kemakmuran. Itulah kemungkinan adanya simbul bambu bersilang

dari atap leuit (lumbung padi) sebagai lambang dari Naga Pateungteung (Naga

Bersilang).

Di daerah Majalengka, Jawa Barat, pada sekitar tahun 1980-an teks naskah

Wawacan Sulanjana masih sangat produktif dan digunakan untuk ritual dalam

siklus penanaman padi, mulai dari guar bumi (mencangkul), tebar (menanam

bibit), dan tandur (menanamkan bibit padi di sawah). Begitu juga pada waktu

tanaman padi keur reuneuh (sedang hamil), biji padi beuneur hejo (ketika padi

mulai bernas), dan ketika upacara nyalin (memetik ibu padi untuk penanaman

yang akan datang). Seorang penulis naskah, bernama Wangsa Hardja, yang

tulisannya sangat indah, baik dalam tulisan Latin maupun Pegon, telah menulis

teks naskan ini lebih dari satu dan hasil tulisannya antara yang satu dengan

yang lainnya terdapat perbedaan di sana-sini yang diperkirakan dia menulis

tanpa sumber karena memang sudah hafal di luar kepala. Namun karena

daya ingat tidak stabil dan kata-kata banyak memiliki sinonim, maka bacaan

satu dengan lainnya sering berbeda karena dalam memori penulis terdapat

persediaan kata lebih dari satu. Contohnya adalah: abdi-abdi dengan kuringkuring

(kami semua), kuwu sadaya lurah dengan santana (kepala desa), jung

indit dengan geus indit (silahkan/telah pergi), dan nami abdi dengan ngaran

kula (nama saya). Karena keragaman teks dalam Wawacan Sulanjana dengan

perbedaan di sana-sini namun alur kisahnya hampir sama, maka saya akan

memilih salah satu naskah tulisan Wangsa Hardja.

Di daerah Majalengka, Jawa Barat, pada awalnya untuk ritual siklus

penanaman padi seperti mitembeyan macul/guar bumi dan mitembeyan panen,

mengadakan pergelaran wayang kulit dengan lakon Dewi Sri. Namun

kemudian berganti dengan pembacaan Wawacan Sulanjana, dengan alasan

untuk penyelenggaraan ritual yang lebih murah. Di Desa Sindangkasih,

Majalengka, pada tahun 1970-an hingga tahun 1980-an, pergelaran wayang

kulit masih diselenggarakan oleh Desa. Adapun pembacaan Wawacan Sulanjana

merupakan ritual yang diadakan oleh perorangan. Anehnya, walaupun lokasi

daerah Majalengka berdekatan dengan daerah Cirebon, namun di daerah

Cirebon sendiri memiliki mite yang berbeda, yakni lakon Budug Basu. Tokoh

Budug Basu ini didalam Wawacan Sulanjana merupakan tokoh antagonis,

walaupun dianggap saudara Puhaci/Dewi Sri, karena ia selalu ingin menemui

Dewi Sri dengan cara mengganggu padi.

Kisah dalam Wawacan Sulanjana ini jelas sebuah mite padi yang berasal

dari zaman pra-Islam, adapun genre wawacan merupakan bentuk sastra Sunda

yang muncul sejak zaman Islam. Wawacan adalah cerita panjang yang digubah

dalam bentuk pupuh (nyanyian). Isi genre sastra ini sangat beragam, tidak

terbatas pada fiksi tapi ada pula yang non-fiksi. Pada tahun 1960-an, masih

ada yang menganggap bahwa wawacan bersifat sakral, tidak boleh dibaca

sembarangan, sehubungan dengan itu isi ceritanya disakralkan. Dengan

demikian, mite padi pada masa lalu disakralkan, kemudian masuk ke dalam

bentuk wawacan. Seperti disebut sebelumnya, wawacan ini berkembang seiring

dengan perkembangan Islam. Walaupun kisahnya tidak selalu menceriterakan

tentang Islam, namun terdapat keberpihakan kepada Islam. Sebagai contoh,

apabila terjadi perang maka raja yang dimenangkan adalah raja yang sudah

memeluk agama Islam.

Di dalam Wawacan Sulanjana ada pula upaya untuk melegitimasi dengan

Islam yaitu menyajikan kolofon berupa informasi indeksal atau informasi yang

mengarahkan. Pada bagian itu diungkapkan bahwa kisah merupakan Carita

Sajarah Nabi dan diambil dari kisah yang berbahasa Arab. Kemudian awal

pengisahan dimulai dari kisah Nabi Adam dan Babu Hawa yang berputra 40

orang, lalu di antara putranya ada yang menurunkan Sanghiyang Tunggal

atau Batara Guru yang diserahi jagat.

Di dalam Wawacan Sulanjana bagian akhir terdapat ungkapan yang ada

hubungannya dengan padi, beras, dan nasi. Diceritakan bahwa Dewi Nawang

Wulan kembali ke Kahiyangan karena suaminya, yaitu Prabu Siliwangi,

melanggar janji untuk tidak mengganggu pasakan padi. Ungkapan tersebut

adalah sebagai berikut:

Ayeuna Gamparan kudu, marentah ka abdi-abdi, ka para kuwu sadaya, nyieun dulang reujeung

hihid, boboko sareng aseupan, pangarih sareng ceceting, nuar jati pikeun lisung.

Artinya:

Kini Tuanku harus, memerintahkan kepada rakyat, kepada semua lurah, membuat

dulang (tempat membolak-balik dan mendinginkan nasi) dengan hihid (kipas bertangkai

dari anyaman bambu), bakul dan kukusan, pangarih (alat dari kayu untuk membolakbalik

karon atau nasi) dengan bakul kecil, memotong pohon jati untuk membuat lesung

(Kalsum, 1991).

Dari gambaran ini nampak bahwa tradisi memasak nasi, yang fenomenanya

masih tampak sekarang, berasal dari mite tentang padi. Kemudian pada zaman

Islam, diperkirakan periode awal Islamisasi, terjadi perubahan pada mantra,

yaitu adanya legitimasi dengan Islam seperti terdapat pada sebuah mantra yang

tertulis di dalam sebuah naskah yang berjudul Rarakaan Nyi Pohaci (Pasangan

Nyi Pohaci). Isi mantra tersebut adalah sebagai berikut:

Hihid pangeper iman, nyiru tamprak ning iman, dulang ketuk ning iman, parako bengker ning

iman, hawu dungkuk ning iman, suluh solosod ning iman, seeng kukus ning iman.

Artinya:

Kipas sebagai penyebar iman, nyiru atau tempat membersihkan beras dari kulit-kulit padi

sebagai lapangan iman, dulang atau tempat membolak-balik nasi sebagai menonjolkan

iman, parako atau tempat memasak nasi sebagai benteng iman, abu bakar sebagai peneguh

iman, kayu sebagai kepanjangan iman, dandang atau tempat memanaskan air untuk

memasak nasi sebagai asap iman (Kalsum, 1991).

Dari ungkapan tersebut nampak bahwa alat-alat menanak nasi diharapkan

mampu menguatkan iman. Kata iman dikenal pada ajaran Islam, dengan istilah

rukun iman atau dasar-dasar iman sebanyak 6, yakni: (1) iman kepada Allah,

(2) iman kepada para Nabi, (3) iman kepada Kitab Suci, (4) iman kepada para

Malaikat, (5) iman kepada Hari Kiamat, serta (6) iman kepada Usaha Manusia

dan Takdir Allah

Mantra yang ada dalam kelisanan antara lain adalah Mantra Mitembeyan.

Bunyi mantra tersebut adalah sebagai berikut:

Punika waruga jisim, nu gaduh tulis angling putih, mijangkar sahadat, Asyhadu Alla Ilaa Ha

Illalloh, Wa Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah, mitangkal iman, misalompit taohid, midaun

hurip, mipucul cahaya, mibuah rasa, panon holang pangawasa [...]. Nyi Mas Pohaci Sanghiang Sri,

jangkaring Sahadatullah, hurip gedong-peteng iman, panon holang sira jati ing inget, sira hirrasa

kaniatan yukti, tumunggang dadya hurip.

Artinya:

Itulah diri manusia, yang mempunyai tulisan suci, memperkuat syahadat, Aku Bersaksi

bahwa Tidak Ada Tuhan Selain Allah, dan Aku Bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah

Utusan Allah, pohon iman, susunan tauhid, daun kehidupan, memancarkan cahaya,

menghasilkan rasa, laksana mata elang yang perkasa [...]. Nyi Mas Pohaci Sanghiang Sri,

kekuatan syahadat kepada Allah, hidup dalam gedungnya iman, mata hati Anda tetap

ingat, niat Anda merasa yakin, naiklah menjadi kehidupan (Kalsum, 1991).

Demikianlah penghormatan terhadap padi yang bertransformasi seiring

dengan perubahan agama dan kepercayaan masyarakat di sekitarnya dari

masa ke masa.

PARAFRASE WAWACAN SULANJANA

Syahdan, diceritakan bahwa Batara Guru dengan patih Narada mendirikan

Bale Pancawarna. Dewa Anta yang badannya ular tidak bisa melaksanakan

tugas. Ia menitikkan air mata, lalu menjadi tiga butir telur. Talur-telur itu

dikulumnya dan akan disampaikan kepada Batara Guru. Namun di perjalanan

ia disapa oleh burung elang. Dewa Anta tidak bisa menyahuti sapaan elang

itu karena mengulum telur, lalu ia disambar oleh elang dan satu telur jatuh

di Tegal Kapapan, satu lagi jatuh di Tanah Sabrang menjadi Kala Buwat dan

Budug Basu. Di Tegal Kapapan, Idajil kencing dan sapi betina meminumnya,

lalu sapi tersebut pun hamil, dan kemudian melahirkan Sapi Gumarang yang

sangat sakti. Sapi Gumarang merajai binatang, ia mengangkat Kala Buwat dan

Budug Basu sebagai anak. Satu telur yang tinggal diserahkan kepada Batara Guru.

Dewa Anta ditugaskan untuk mengerami, lalu telur menetas dan menjadi seorang

Putri yang sangat cantik. Putri itu diserahkan kepada Batara Guru dan diberi nama

Puhaci Terus Dangdayang atau Dewi Aruman. Puhaci disusui oleh Dewi Umah,

istri Batara Guru, dan diasuh oleh Dewi Esri.

Dewi Puhaci semakin cantik, Narada curiga kalau-kalau Batara Guru akan

mengawini Dewi Puhaci. Bila itu terjadi maka Batara Guru melanggar hukum

karena Dewi Puhaci disusui oleh Dewi Umah, istrinya, yang berarti Dewi

Puhaci adalah anak Batara Guru juga. Untuk menghindari perbuatan tercela

itu maka Dewi Puhaci dihentikan menyusu dan sebagai penggantinya diberi

buah holdi. Dewi Puhaci ternyata tidak diberi buah holdi lagi, ia kemudian sakit

karena ketagihan, dan akhirnya meninggal dunia. Mayat Dewi Puhaci diurus

oleh Bagawat Sang Seri.

Dari pekuburan Dewi Puhaci tumbuh pohon kelapa dari kepalanya;

bermacam-macam buah berwarna hijau, kuning, dan merah dari telinganya;

bermacam-macam ketan dari mata dan rambutnya; pohon enau dari tangannya;

bermacam-macam bambu dari jarinya; bermacam-macam tumbuhan merambat

dari tali ari-arinya; buah-buahan dari susunya; dan rerumputan dari bulunya.

Semar kemudian ditugaskan untuk membawa semua tanaman itu ke Pakuwan

untuk ditanam dan dijaganya baik-baik. Negara Pakuwan kemudian menjadi

subur dan makmur.

Istri Ratu Pakuwan Prabu Siliwangi seorang bidadari bernama Dewi

Nawangwulan, putri Batara Guru. Ia dipercayakan memasak padi untuk rakyat

Pakuwan dan mengajarkan bagaimana cara memasak padi. Prabu Siwangi

tidak boleh mengganggu atau membuka pasakan itu dan apabila melanggar

janji maka jatuhlah talak kepada Dewi Nawangwulan.

Budug Basu yang berada di Tegal Kapapan mencari Puhaci, saudaranya

yang berada di Suralaya. Para Dewa mengetahui maksud Budug Basu,

karenanya semua pintu ditutup rapat-rapat. Dengan kesaktianya, pintupintu

itu ditendangnya sehingga hancur. Budug Basu kemudian dikepung

oleh para Dewa, akan tetapi ia bisa lolos dan sampai di puri Batara Guru. Ia

kemudian menanyakan Puhaci. Batara Guru menjelaskan bahwa Puhaci sudah

meninggal dunia. Kalamulah dan Kalamuntir ditugaskan oleh Batara Guru

untuk mengantarkan Budug Basu ke kuburannya di Banyu Suci. Budug Basu

kemudian mengelilingi kuburan Dewi Puhaci itu selama tujuh keliling, lalu

meninggallah ia.

Batara Guru menugasi Kalamulah dan Kalamuntir untuk menggotong

mayat Budug Basu tersebut mengelilingi dunia sebanyak tujuh keliling, dan

sebelum sampai mereka tidak boleh kembali. Di bawah pohon gebang, mereka

berhenti. Dahan gebang itu patah dan menimpa tambela (peti mayat). Dari dalam

tambela keluarlah binatang-binatang darat dan bermacam-macam binatang laut.

Kalamulah dan Kalamuntir tidak kembali ke Suralaya karena takut dihukum

oleh raja. Mereka mengadakan pembagian tugas, seorang menjaga binatangbinatang

darat dan seorang lagi menjaga binatang-binatang laut, tambela sendiri

kemudian berubah menjadi badak.

Ketika Puhaci masih hidup, Batara Guru mengeluarkan kama, kemudian

jatuh ke bumi tujuh, dari dalam bumi keluarlah tiga orang manusia, seorang

laki-laki bernama Sulanjana, dan dua orang perempuan bernama Talimendang

dan Talimenir. Ketiga anak itu dipelihara oleh Dewi Pertiwi, setelah besar

mereka mencari ayahnya ke Suralaya. Batara Guru menitipkan kerajaan kepada

Sulanjana karena akan mengontrolpadi. Ia dengan Narada menjelma menjadi

burung pipit dan menyerang padi. Semar dan anak-anaknya melempari

burung-burung tersebut, namun burung pipit itu sangat tangkas sehingga Semar marah.

Ia memukul-mukul batang dan ranting pohon enau dengan arit, tetapi tidak patah

malahan keluar air manis.

Dempu Awang dari Negara Sabrang akan membeli padi ke Pakuwan, ia

diterima oleh Kaliwon kemudian diantarkan kepada Prabu Siliwangi. Prabu

Siliwangi tidak melayani pembelian itu karena padi bukan miliknya, ia hanya

titipan, milik Batara Guru. Dempu Awang sakit hati, dan ia meminta tolong

Sapi Gumarang untuk merusak padi. Sapi Gumarang, Kala Buwat, Budug Basu

dengan anak buahnya kemudian menyerang padi. Batara Guru mengetahui keadaan padi

yang ada di Pakuwan dalam keadaan terancam. Ia kemudian menugasi Sulanjana,

Talimendang, dan Talimenir untuk menahan serangan tersebut, dan padi sehat kembali.

Sapi Gumarang marah, malu oleh Dempu Awang, dirusakkan kembali padi-padi

itu. Setelah rusak, padi disembuhkan kembali oleh Sulanjana. Berkali-kali padi

dirusakkan, namun disembuhkan kembali oleh Sulanjana. Kemarahan Sapi

Gumarang pun sampai pada puncaknya, ia mengajak perang tanding dengan

Sulanjana. Sapi Gumarang kalah. Ia berjanji akan mengabdi kepada Sulanjana

dan akan menjaga padi, asal setiap memulai penanaman padi, namanya

disambat (dipanggil secara bathin) dengan kedua anaknya, yaitu Kala Buwat

dan Budug Basu, serta disediakan daun paku pada pupuhunan (persyaratan

untuk menanam padi).

Pada suatu waktu, Dewi Nawangwulan sedang memasak nasi. Prabu

Siliwangi penasaran ingin melihat pasakan istrinya itu. Ia sangat heran karena

masak satu tangkai padi cukup untuk orang banyak. Maka dibukalah pasakan

padi tersebut. Dewi Nawangwulan sangat kaget karena pasakannya masih

berupa tangkai padi. Ia maklum apa yang telah terjadi, dan ia pun kembali ke

Kahiyangan. Sebelum meninggalkan Kahiyangan, ia berpesan agar disediakan

lesung, dulang, kipas, bakul, dan kukusan untuk memasak padi. Lesung harus

dilubangi panjang dan dua lubang bulat di pinggir untuk tempat Talimendang

dan Talimenir.

Dengan sedih dan menyesal Prabu Siliwangi pergi ke Suralaya untuk

menghadap Batara Guru dan memohon supaya Dewi Nawangwulan

dikembalikan. Dewi Nawangwulan tidak bisa kembali. Batara Guru kemudian

mengajarkan saat yang baik untuk memulai bercocok tanam padi.

Setelah tamat, tertulis Kidung Salamet (nama menurut penuturan pemilik

naskah) dengan Bahasa Jawa dalam Pupuh Dandanggula sebanyak 8 pada atau

bait. Setelah kata ”tamat” tertera nama penulis dan titi mangsa, Wangsa, tanggal

17-5-1965 (naskah sengaja dipilih yang paling muda untuk menggambarkan

bahwa sekitar kurun waktu itu, kisah ini masih disakralkan dan dianggap memiliki

daya magis karena masih dipakai pada ritual siklus penanaman padi).

MAKNA PENGHORMATAN KEPADA DEWI PUHACI

DI DALAM WAWACAN SULANJANA

Tema atau ide dasar kisah ini ialah pemujaan terhadap Dewi Sri/Dewi

Puhaci/Dewi Padi sebagai makanan pokok. Istilah ”pemujaan” di dalam tema

diartikan bahwa padi merupakan tanaman yang mulia, berasal dari Dewi yang

dimuliakan oleh tokoh-tokoh mulia lainnya, antara lain Batara Guru, Prabu

Siliwangi, dan Semar. Tema mengenai makanan pokok merupakan tema khas

dan merupakan pemikiran luhur atas kehidupan. Masalah makanan pokok

tidak banyak dibicarakan, baik didalam sastra kuna dan sastra lama maupun

sastra modern. Padahal makanan pokok merupakan persoalan kemanusiaan

yang sangat mendasar karena menyangkut kebutuhan seluruh umat manusia.

Tema tersebut menggugah semangat menuju kesejahteraan umat manusia

secara semesta yang maknanya merupakan kebenaran semesta, yaitu ”jangan

menyepelekan, menyia-nyiakan puhaci/padi sebagai makanan pokok”,

karena ianya merupakan kebutuhan pokok manusia, baik miskin ataupun

kaya. Apabila makanan pokok terganggu maka kesejahteraan umat manusia

terganggu pula, terlebih lagi golongan orang miskin.

Amanat utama dalam tema ini didukung oleh sejumlah peristiwa yang

bisa dimaknai secara implisit (tersirat). Dalam masyarakat Sunda, sering

mencetuskan keinginan, perasaan, khayalan, dan atau saran yang tidak

diucapkan secara langsung akan tetapi digunakan dengan berbagai kiasan,

baik berupa lisan maupun berupa perbuatan, seperti dengan memanjatkan

doa yang tersirat dalam sesajen dan menyarankan sesuatu dengan ungkapan

pamali (tabu). Kebiasaan ini merupakan strategi wacana dengan maksud

agar para pendengar secara sukarela, tidak terpaksa, melakukan apa yang

diinformasikan. Adapun peristiwa-peritiwa tersebut adalah sebagai berikut:

Dewi Puhaci dilahirkan, dibesarkan, dan meninggal dunia di Suryalaya.

Suryalaya atau Kahiyangan, tempat tinggal para Dewa, tingkatannya lebih

tinggi daripada dunia. Suryalaya selalu dijaga dari aib dan dosa. Tingginya

tingkatan bermakna bahwa Suryalaya sebagai pendukung kemuliaan Dewi

Puhaci. Setelah Dewi Puhaci meninggal, ia dikuburkan di Tegal Si Banyu Suci

(Padang Air Suci), kemudian setelah menjelma menjadi padi, ia dikirim ke

Pakuwan. Dewi Puhaci selalu menempati tempat yang dimuliakan. Suryalaya

merupakan ”Dunia Atas”; Tegal Si Banyu Suci merupakan tempat suci di

Suryalaya; dan Pakuwan merupakan kerajaan kebanggaan masyarakat Sunda

yang disakralkan. Semua tempat-tempat tersebut merupakan daerah yang

mulia di hati masyarakat Sunda yang memiliki efek kesakralan bagi Dewi

Puhaci. Perkara ini mengisyaratkan bahwa pemujaan terhadap Dewi Puhaci/

Dewi Padi sebagai makanan pokok harus ditempatkan sebagai perkara

kemuliaan dan harus diupayakan perlindungannya dengan kesucian hati.

Dewi Nawangwulan menyarankan agar membuat lesung dengan lubang

panjang dan lubang kecil pada dua buah di sisi untuk tempat Talimendang

dan Talimenir. Talimendang merupakan sebuah lambang yang mengingatkan

pada mata mendang (kulit padi yang masih tersisa dalam beras), dan Talimenir

berarti beras menir atau beras yang kecil-kecil. Saran itu mengandung makna

yang mengarahkan bahwa jangan menyepelekan beras walaupun dalam

jumlah kecil, andaikata diri sendiri tidak membutuhkan maka tempatkanlah,

kumpulkanlah, jangan dibuang-buang, karena beras merupakan makanan

pokok dan masih banyak orang miskin yang membutuhkannya. Di dalam

kepercayaan masyarakat Sunda, barang siapa yang suka memakan beras

menir maka ianya akan menjadi kaya. Informasi ini mengandung indeksal

(mengarahkan) dan secara tersembunyi merupakan anjuran agar tidak boleh

membuang-buang beras, walaupun dalam jumlah kecil.

Semar ditugaskan oleh Batara Guru untuk menjaga padi. Tokoh

Semar ini menyandang sifat kemuliaan yang sangat banyak. Semar merupakan

Tokoh arif Nusantara yang berasal dari masa pra Hindu-Buddha. Semar merupakan

penghubung antara dunia atas dengan dunia bawah, dan Semar bisa meruwat

atau mengeluarkan dari bencana para Dewa dan umat manusia. Semar

juga diyakini sebagai Dewa Kesuburan (Mulyono, 1982:28-29). Kemuliaan

lain yang ada hubungannya dengan makanan pokok adalah bahwa Semar

merupakan lambang pemimpin yang sabar, Badranaya, tokoh yang tidak

tergiur oleh keduniawian seperti pangkat dan kekayaan dunia. Ketika muncul

kisah Ramayana dan Mahabarata dari India dan kisah itu dipergelarkan dalam

pertunjukan wayang kulit atau wayang golek, tokoh Semar tetap menyandang

sejumlah kearifan yang tidak dimiliki oleh tokoh-tokoh pewayangan lainnya.

Hal ini mengandung makna bahwa padi, untuk kesejahteraan umat manusia,

harus dijaga oleh orang yang betul-betul jujur, orang yang tidak tergiur oleh

kekayaan.

Prabu Siliwangi menolak permintaan Dempu Awang untuk membeli padi.

Hal ini mengandung makna bahwa padi harus dijaga dari keserakahan jual-beli

perdagangan. Di dalam jual-beli tidak mengenal saudara, tidak mengenal belaskasihan,

dan tidak mengenal rasa sosial. Padi harus dijaga dari keserakahan

tersebut karena menyangkut kesejahteraan umum. Prabu Siliwangi merupakan

tokoh yang sangat kharismatik dalam kenangan masyarakat Sunda. Hal ini bisa

dilihat dari berbagai folklor, antara lain mantra dan ceritera rakyat mengenai

kesaktian, keadilan, dan pengayoman Prabu Siliwangi terhadap rakyat.

Tokoh ini dihadirkan dalam kisah dan menyiratkan bahwa perlindungan

atas makanan pokok harus diupayakan oleh pemimpin negara dengan

mengindahkan berbagai kearifan untuk melindungi masyarakatnya dari

bencana kekurangan bahan makanan.

Tegal Kapapan didiami oleh tokoh-tokoh perusak padi. Kapapan berasal

dari morfem dasar papa (Bahasa Sansekerta) yang berarti dosa. Tegal Kapapan

mempunyai arti tempat atau daerah orang-orang berdosa. Hal ini mempunyai

makna bahwa perusak padi adalah orang-orang yang berdosa. Dalam arti yang

lebih luas lagi bahwa yang mengguncangkan kesejahteraan manusia adalah

hal-hal yang ada hubungannya dengan makanan pokok dan ianya merupakan

tokoh-tokoh yang berdosa dan dilaknat oleh Tuhan.

Cerita berakhir dengan penyelesaian, yakni semua tokoh menjaga

keselamatan Dewi Puhaci/Dewi Sri/Dewi Padi, baik tokoh yang memiliki

karakteristik baik maupun sebaliknya. Peristiwa ini mengandung makna bahwa

semua orang memiliki tanggung jawab dalam melindungi makanan pokok,

manusia mempunyai kewajiban untuk menjaga kesejahteraan umat manusia,

karena kehancuran manusia diciptakan oleh manusia itu sendiri.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kearifan lokal terhadap kemajuan, kesejahteraan dan kemakmuran

masyarakat kiranya sudah dipikirkan sejak zaman kuno, zaman pra Hindu-

Buddha dengan bukti-bukti masih terdokumentasikannya sikap masyarakat

Sunda dalam folklor dengan tokoh kesuburan, yaitu Semar. Kemudian masuk

agama Hindu-Buddha, kisah ini diperkaya dengan hadirnya tokoh Dewi

Kesuburan (Sri) dan Dewa Kesejahteraan (Wisnu). Terakhir masuknya agama

Islam, kisah yang berkaitan dengan perlindungan terhadap makanan pokok

diwarnai oleh nuansa Islam yang, di antaranya, pada masyarakat Sunda lahir

dalam mantra naratif Wawacan Sulanjana. Dalam kisah ini banyak terdapat

indikator Islam seperti adanya Buah Koldi, serta pada kolofon disajikan silsilah

keturunan Nabi Adam.

Folklor tentang kearifan lokal ini tidaklah berdiri sendiri, namun

diungkapkan dalam perilaku masyarakat Sunda yang diturunkan dari

masa ke masa, yakni adanya ritual, mantra untuk siklus penanaman padi,

sejumlah keharusan dan tabu. Kiranya semua ini merupakan mata rantai

yang saling berkaitan yang diusung oleh budaya masyarakat dilapisi oleh

agama dan kepercayaan dari masa ke masa. Kearifan lokal pada masa kuno,

yang fenomenanya masih tampak pada masa kini, seyogyanyalah dipelihara

dan dijaga walaupun perkembangan teknologi sangat pesat dalam pertanian

dan proses pengerjaan dari padi ke beras, dan memasaknya. Makanan pokok

tetap harus dilindungi oleh pemerintah dari keserakahan. Lebih luas lagi

pemerintah hendaknya mendorong kemajuan, serta mengayomi kesejahteraan

dan kemakmuran masyarakat.

Bibliografi

Bakker, Anton. (2008). Antropologi Metafisik. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, edisi ke-6.

Cavallaro, Dani. (2004). Teori Kritis dan Teori Budaya. Terjemahan. Yogyakarta: Futuh Printika.

Danandjaja, James. (1984). Folklor Indonesia. Jakarta: P.T. Grafiti Pers.

Danasasmita, Saleh et al. (1986). Sawaka Darma Sanghiyang Siksakandang Karesian: Amanat Galunggung.

Bandung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Ekadjati, Edi S. et al. (1985). Naskah Sunda: Inventarisasi dan Pendataan. Bandung: Lembaga Penelitian

UNPAD [Universitas Padjadjaran] dan The Toyota Foundation.

Gazaldun. (1974). Amanat Dewi Sri. Jakarta: Balai Pustaka.

Hartoko, Dick. (1975). Saksi Budaya. Jakarta Pusat: Dunia Pustaka Jaya, edisi pertama.

Kalsum. (1983). “Analisis Wawacan Sulanjana dari Kecamatan Sulanjana”. Skripsi Sarjana Tidak

Diterbitkan. Bandung: Fakultas Sastra UNPAD [Universitas Padjadjaran].

Kalsum. (1991). Makna Mantra Pertanian Jawa Barat Bagian Timur. Bandung: Fakuktas Sastra UNPAD

[Universitas Padjadjaran].

Kalsum et al. (2001). Transkripsi, Translitrasi dan Terjemahan Naskah Kuno: Wawacan Carios Sawargaloka.

Bandung: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jawa Barat.

Kalsum. (2006). “Wawacan Batara Rama: Edisi Teks, Kajian Struktur dan Intertekstualitas”.

Disertasi Doktor Tidak Diterbitkan. Bandung: Program Pascasarjana UNPAD [Universitas

Padjadjaran].

Mulyono, Sri. (1982). Apa dan Siapa Semar? Jakarta: Gunung Agung.

Purwoko, Herudjati. (2008). Discourse Analysis: Kajian Wacana bagi Semua Orang. Jakarta: P.T. Indeks

dan P.T. Macanan Jaya Cemerlang, edisi pertama.

Ras, Johannes Jacobus. (1968). Hikayat Banjar: A Study in Malay Historiography. ’s-Gravenhage: N.V.

De Nederlandsche Boek en Drukkery v/h H.L. Smits.

Suratkabar Pikiran Rakyat. Bandung: 31 Maret 1991.

Robson, S.O. (1978). Filologi dan Sastra-sastra Klasik Indonesia. Tugu-Bogor: Antara Aksara.

Wessing, Robert. (1990). Sri and Sadana and Sita and Rama: Myth of Fertility and Generation. Nijmegen:

Katholieke Universiteit.

Wojowasito, S. (1976). Sejarah Kebudayaan Indonesia. Bandung: Shinta Dharma.

Zoest, Aart van. (1990). Fiksi dan Nonfiksi dalam Kajian Semiotik. Jakarta: Intermasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar