Kearifan Lokal dalam Wawacan
Sulanjana: Tradisi Menghormati Padi
pada Masyarakat Sunda di Jawa Barat,
Indonesia
oleh: Dr. Kalsum adalah Dosen pada Jurusan Bahasa dan Sastra Sunda, Fakultas Sastra UNPAD (Universitas
Padjadjaran); dan Ketua Konsentrasi Filologi Program Ilmu Sastra, Pascasarjana UNPAD
Bandung, Jawa Barat, Indonesia. Untuk kepentingan akademik, beliau boleh dihubungi
dengan alamat e-mail: kalsum_pratoyo@yahoo.com
PENDAHULUAN
Makanan pokok beras dikenal dalam berbagai bahasa, contoh: bahasa
Indogerman, rice; Mesir, ruz; Latin, orizae; Jepang, kome; dan Vietnam,
brah (Gazaldun, 1974:12-20). Istilah-istilah yang beragam tersebut tampak
memiliki dasar ucapan yang mirip, kecuali kome (dalam bahasa Jepang). Hal
itu dimungkinkan karena sejak zaman dahulu, beras sebagai makanan pokok
digunakan di wilayah lebih luas lagi daripada sekarang, dan ianya berasal
dari wilayah yang sama. Bahan pangan yang dalam prosesnya melalui padi
kemudian beras, dan menjadi nasi merupakan makanan pokok di sebagian
besar masyarakat Nusantara.
Terhadap makanan pokok ini pernah ada upaya-upaya pemerintah – sejak
pemerintahan Presiden pertama, Ir. Soekarno, sampai dengan sekarang – untuk
dikurangi atau diganti dengan makanan lain yang kandungannya memadai
bagi kebutuhan tubuh manusia, antara lain dengan jagung dan umbi-umbian.
Namun beras, untuk masyarakat kebanyakan, tetap menjadi makanan pokok
yang paling utama yang tak tergantikan. Selain sebagai makanan pokok
yang tak tergantikan, padi juga merupakan sesosok tumbuhan yang sangat
dihormati. Tumbuhan ini dianggap penjelmaan dari Dewi Sri.
Kisah padi yang dikaitkan dengan Dewi Sri ini terdapat di Bali, Jawa
Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat (Kalsum, 1983). Namun ceritanya satu
dengan lain sangat berbeda-beda. Asal-usul Dewi Sri ini mengingatkan pada
nama Lakshmi atau Çri, istri Vishnu, suami-istri ini dalam kehidupan sebagai
Dewi Kesuburan atau Dewi Kemakmuran dan Dewa Kekayaan atau Dewa
Kesejahteraan (Wojowasito, 1976:62). Selama musim hujan, Vishnu tidur
di atas naga besar. Tentang naga ini kemudian dimitoskan sebagai ciri-ciri
kesuburan. Mengenai Vishnu dan Lakshmi atau Çri ini kemudian mewarnai
sejumlah folklor yang ada hubungannya dengan kemakmuran dan kekayaan
(Danandjaja, 1984).
Di sejumlah daerah di Jawa Barat dan di Banten (masyarakat Sunda),
padi sering disebut Nyi Sri atau Nyi Pohaci. Karena asal-usul itulah kemudian
menyebabkan penghormatan kepada padi. Penghormatan masyarakat
terhadap makanan pokok padi di wilayah Jawa Barat dan Banten ini selama
proses pengerjaan sampai penggunaan, sejak pra-tanam sampai pasca-panen,
yakni dari sebelum penaman sampai memasukan padi ke leuit (lumbung
padi), menjadi beras, menanak nasi, dan memakannya. Selama proses tersebut
masyarakat Sunda sangat hormat, berhati-hati, dengan membina kebersamaan
dan menjauhkan diri dari keserakahan. Fenomena ini tampak dari perilaku nonverbal
dan verbal, berupa folklor yang dilakukan secara turun-temurun yang
masih tampak sampai kini, perilaku tersebut diturunkan secara unconscious
transference (Danandjaja, 1984).
Sebelum nasi menjadi makanan pokok, dilihat dari sudut kebahasaan,
diperkirakan makanan pokok masyarakat Sunda kuna adalah hui atau umbiumbian
dalam pengertian generik. Keadaan ini dapat dilihat dari sejumlah
fenomena yang kini masih tampak, seperti tabu seorang anak menyebut
nama ”ibu”, karena akan berakibat hapa hui atau umbi-umbian tidak berisi.
Ada permainan anak-anak yang dilakukan dengan cara bersahut-sahutan,
sebagai berikut:
– Tok, tok, tok.
+ Saha eta? (Siapa itu?)
– Nini jeung aki. (Nenek dengan kakek)
+ Rek naon? (Mau apa?)
– Rek menta hui ... (Mau meminta umbi ...)
Dalam naskah ini, kata nini dan aki bisa diartikan nenek-moyang perempuan
dan laki-laki. Dari permainan yang berasal dari masa kuna ini tampak bahwa
hui atau umbi-umbian menduduki peranan di masyarakat.
Istilah penggunaan hui ini sangat menarik untuk ditelusuri lebih lanjut
dalam hubungannya dengan kata lain. Di daerah Jawa Barat seperti Ciamis,
misalnya, hui kumeli berarti ”kentang”; di daerah Bandung dan sekitarnya, hui
boled berarti ”ubi jalar”; di daerah Sukabumi, hui berarti ”ketela pohon”; dan di
daerah Majalengka, hui berarti umbi-umbian meliputi beberapa jenis, seperti
antara lain hui manis, hui jahe, hui legi, dan hui kamayung. Dilihat dari istilah
yang artinya beragam tersebut, pada masa lalu kata hui memiliki pengertian
generik yang membawahi bermacam-macam jenis umbi-umbian.
Umbi-umbian ini, pada upacara ritual kandungan ibu berusia 7 bulan
memiliki peranan juga, yakni di antaranya harus ada bermacam-macam
sesajen atau sesajian umbi-umbian. Sesajen ini kiranya sebagai mantra nonverbal
supaya bayi yang akan dilahirkan tidak kurang pangan. Pemahaman
ini dengan analogi menabur beras dalam sawer ritual pengantin. Kata hui
dengan referent yang beragam menunjukan bahwa hui merupakan pengertian
generik untuk merujuk pada pengertian umbi-umbian yang diperkirakan
menjadi bahan makanan pokok masyarakat Sunda Kuno sebelum adanya
padi. Namun menurut seorang jurupantun, Saein, dari Majalengka (1980),
sebelum adanya padi, masyarakat Sunda memakan jawawut, yakni semacam
makanan burung (dalam Kalsum, 1991). Sangat sulit untuk menerka secara
tepat mengenai makanan pokok ini, sebab fenomena yang nampak masa kini
masyarakat sangat sulit berganti makanan pokok padi, dan umbi-umbian
hanya dipandang sebagai makanan sampingan.
PENGHORMATAN TERHADAP PADI
Penghormatan terhadap nasi/beras/padi, nampak dari folklor non-verbal,
yakni berbagai perilaku keharusan dan tabu. Keharusan tersebut dalam berbagai
hal antara lain sebagai berikut: Nyawen/nyalin ketika panen, yakni membuat
pupuhunan atau saung sanggar yang di dalamnya berisi bermacam-macam
sesajen. Fenomena ini masih ditemukan pada tahun 1980-an hingga 1990-an di
Majalengka dan Sumedang (Kalsum, 1991); dan di Kabupaten Bandung masih
nampak sampai sekarang. Di berbagai tempat, di atas beras yang akan dicuci
di pancuran harus disawenan atau ”ditutupi daun pisang”, walaupun secuil
kecil. Leuit atau lumbung padi memiliki bentuk yang sama, dengan bambu
bersilangan di bagian ujung atap (lihat di daerah Baduy, Banten). Pada masa
lalu ditemukan leuit di Talaga, Kabupaten Majalengka, dimana pada bagian
ujung atap itu terdapat dua ekor ukiran naga. Hal ini pada sebuah naskah
disebut dengan istilah naga pateungteung, dan kedua naga itu mengingatkan
kita sebagai lambang dari Dewi Kesuburan dan Dewa Kekayaan.
Hal lainnya nampak dari tradisi sebagai berikut: Pada masa lalu, alat
memasak padi atau disebut juga peralatan dapur, sebelum ada alat masak
elektronik, secara turun-temurun tetap memakai alat tertentu seperti dalung/
seeng, aseupan/kukusan, dulang/pane atau tempat membuat karon dan tempat
mendinginkan nasi yang terbuat dari kayu, dan lain-lainnya. Bentuk pangarih,
yakni alat membolak-balik nasi dengan centong/cukil di beberapa daerah
memiliki bentuk ular.
Rasa kebersamaan atau rasa memiliki terhadap padi nampak dari fenomena
sebagai berikut: Dalam ritual padi, terdapat fenomena rasa kebersamaan antar
tetangga yang dibangun dalam penyelenggaraannya, yakni memakan sesajen
atau makanan yang terdapat pada saung sanggar, dan memberikan beras yang
baru kepada tetangga dengan istilah ngaleuseuhan. Lihat pula pada uraian
berikut ini:
Selain tradisi tersebut, ada pula sejumlah tabu, antara lain membuang padi, beras atau
nasi. Tabu pula bersiul di dalam rumah karena Dewi Sri atau Dewi Padi akan ketakutan.
Perilaku tabu menjual padi, beras, atau nasi ini masih diperolehi keterangan dari berbagai
daerah. Sikap taat terhadap tabu ini di warung-warung makan disiasati dengan cara ikrar
bahwa nasi tidak diperjualbelikan, tapi diberikan secara cuma-cuma, yang harus dibayar
adalah hanya lauk-pauknya saja. Dari tradisi ini dapat ditangkap juga bahwa padi/beras/
nasi tidak boleh dijualbelikan dengan makna yang lebih dalam, yaitu padi sebagai milik
bersama dan harus dilindungi dari keserakahan jual-beli (Kalsum, 1991).
Bentuk penghormatan jenis lain terhadap padi adalah mantra. Mantra itu
ada yang berupa mantra non-verbal dan mantra verbal. Mantra non-verbal di
Jawa Barat dan Banten terdapat, antara lain, sesajen yang disediakan pada saung
sanggar di sawah, di leuit, dan di pabeasan/padaringan atau tempat menyimpan
beras. Sebagai contoh, bentuk saung sanggar di Majalengka terdapat anyaman
dari daun kelapa dan rangkaian dedaunan yang sangat indah menyerupai ular.
Pada setiap leuit di Baduy, Banten, di bagian luarnya selalu digantungi oleh
dedaunan, antara lain daun pepek atau daun penuh. Sesajen yang disediakan,
selain makanan di antaranya terdapat daun sulangkar dan jawer kotok. Kiranya
semuanya itu merupakan satu rangkaian, yang satu dengan lainnya berkaitan.
Daun sulangkar memiliki makna ulah sulaya, ulah ingkar, yang artinya ”jangan
tidak menepati janji” (Pikiran Rakyat, 31/3/1991), terutama yang ditujukan
kepada Dewi Sri, yang menumbuhsuburkan kehidupan manusia. Pernyataan
ini tersirat pula pada mantra yang diungkapkan bahwa Dewi Sri jangan
mengingkari janji untuk memakmurkan manusia (Kalsum, 1991). Dewi Sri
sendiri dipandang sebagai regenerasi dari umat manusia (Wessing, 1990).
Adapun mantra verbal dibedakan antara mantra non-naratif dan mantra
naratif. Mantra non-naratif ditemukan pada berbagai daerah di Jawa Barat
mulai dari pra-penanaman, proses pertumbuhan padi, dan pasca-panen,
yakni perlakuan terhadap beras, masak padi, dan memakannya. Mantra prapenanaman
dimulai dari proses mitembeyan macul atau mulai mencangkul, tebar
atau menebarkan padi untuk bibit, dan babut atau mencabut tanaman padi yang
baru tumbuh untuk ditanam. Mantra proses pertumbuhan padi dimulai dari
tandur atau menanamkan benih padi di sawah, nimang pare keur lilirna atau
mantra tanaman padi setelah beberapa hari ditanam, ngarambet atau menyiangi
rumput, hejo tangkal alus daun atau mantra ketika tanaman padi tumbuh dengan
subur, mapak daun atau batang padi mulai tinggi dan daunnya subur, pare gede
atau biji padi mulai berisi, nyegah hama atau mencegah hama, ngala indung pare
atau memotong padi yang bagus untuk penanaman berikutnya, dan mitembeyan
mipit/mitembeyan dibuat/nyalin atau mulai memotong padi (Kalsum, 1991).
Mantra pasca-panen ditemukan dalam kata-kata seperti mupul eundan atau
mengikat padi, ka leuit atau berjalan menuju lumbung padi, di leuit atau di
lumbung padi, muka panto leuit atau membuka pintu lumbung padi, ngasupkeun
pare ka leuit atau memasukan padi ke lumbung padi, ngelep pare di leuit atau
menata padi di lumbung padi, netepkeun pare di leuit atau menghibur Dewi Sri
supaya betah di lumbung padi, dan nanghikeun pare atau membangunkan Dewi
Sri/Dewi Padi ketika mengambilnya.
Di daerah Jawa Barat, leuit sudah sulit ditemukan lagi, namun mantranya
masih disebut-sebut dan digunakan. Adapun mantra apabila padi sudah
menjadi beras adalah sebagai berikut:
Ngasupkeun beas ka padaringan atau memasukkan beras ke tempat menyimpan beras yang
terbuat dari tanah, ngukus padaringan atau membakar kemenyan di tempat menyimpan
beras yang terbuat dari tanah, nyiuk beas atau mengambil beras dari tempat menyimpan
beras yang terbuat dari tanah dan biasanya dengan batok kelapa. Mantra dalam proses
menanak nasi ditemukan kata-kata ngagigihan atau membolak-balik beras yang sedang
dimasak, ngajungjungkeun sangu dina aseupan atau mengangkat nasi dari kukusan (tempat
menanak nasi berbentuk segi tiga), ngakeul atau mendinginkan nasi di dulang (tempat
menyimpan nasi terbuat dari kayu dan berbentuk bulat), dan netelkeun sangu atau
mengepal nasi dan menutulkannya ke garam. Terakhir, memakannya pun ditemukan
mantra-mantra pula, dan semua mantra itu merupakan perlakuan yang santun kepada
Dewi Sri (Kalsum, 1991).
Adapun mantra naratif untuk ritual dalam siklus penanaman padi di daerah
Jawa Barat, diantaranya adalah Wawacan Ogin (di Kabupaten Bandung), Cerita
Wayang Dewi Sri (ditemukan di daerah Majalengka), Cerita Pantun Sri Sadana,
dan Wawacan Sulanjana (digunakan di seluruh daerah Jawa Barat).
NASKAH DAN TEKS WAWACAN SULANJANA
Mantra naratif seperti Cerita Pantun Sri Sadana dan Cerita Wayang Dewi Sri
berada dalam kelisanan. Adapun Wawacan Ogin dan Wawacan Sulanjana berada
dalam tradisi tulisan. Tradisi tulisan jelas memiliki relatif kestabilan daripada
tradisi lisan. Wawacan Ogin dan Wawacan Sulanjana, keduanya dibacakan pada
ritual kehamilan, kelahiran bayi, dan siklus penanaman padi. Dibandingkan
dengan Wawacan Ogin, maka Wawacan Sulanjana isinya lebih dekat dan ada
hubung-kaitnya dengan masalah padi. Oleh karenanya Wawacan Sulanjana
lebih dikenal oleh masyarakat Jawa Barat dengan bukti bahwa ianya terdaftar
didalam katalogus naskah yang sangat banyak (Ekadjati et al., 1985).
Teks Wawacan Sulanjana tidak begitu panjang, yakni sekitar kurang-lebih 300
pada atau bait saja. Naskah-naskah Wawacan Sulanjana, karena dipakai ritual,
penyalinannya sering dilakukan tanpa sumber karena memang penulisnya
sudah sangat hafal. Penyalinan yang demikian menimbulkan perbedaan
bacaan pada teks yang satu dengan lainnya, sehingga antara peristiwa yang
satu dengan yang lainnya tidak sesuai urutan, atau terjadi penyisipan dan
pengurangan. Walaupun demikian, alur pokoknya tidak berubah. Apabila
ditelusuri, teks-teks naskah tersebut berasal dari naskah otograf (naskah
pertama yang dikarang oleh penulisnya) yang sama. Namun ada kalanya
apabila dibandingkan dengan naskah-naskah dari tempat yang jauh, teks-teks
naskah ini bisa dikatakan berbeda versi karena terdapat perbedaan urutan
pupuh, perbedaan nama tokoh, atau terjadi pergeseran peristiwa. Walaupun
demikian masih tampak benang merah yang menunjukan kesamaan kisah.
Tidaklah aneh kalau judul teks naskah tentang mite padi ini memiliki judul
yang berbeda, antara lain: Babad Sawergaloka, Wawacan Dewi Sri, Wawacan
Babarit, dan Wawacan Sulanjana. Judul yang paling dikenal oleh masyarakat
adalah Wawacan Sulanjana (Kalsum et al., 2001).
Apakah sikap masyarakat dalam kehati-hatian terhadap padi, seperti
dipaparkan sebelumnya, ada kaitannya dengan mite yang terkandung di
dalam Wawacan Sulanjana itu? Walaupun bentuk wawacan dalam khazanah
keksusastraan Sunda baru muncul sekitar abad ke-17, namun mite padi sudah
ada dalam periode yang sangat tua. Menurut Johannes Jacobus Ras (1968), cerita
Sri-Sedana merupakan mite nenek moyang dari masyarakat primitif di Jawa.
Oleh karenanya dalam Wawacan Sulanjana, walaupun kisah keseluruhan dapat
difahami, namun detil-detil bacaan di sana-sini seringkali tidak dapat difahami,
antara lain tokoh utama Sulanjana dengan ada pula nama Sri – Sedana yang
muncul begitu saja tanpa ada kaitan dengan kisah.
Tampaknya mite ini sudah ada sejak zaman kuno sehingga para penyandang
aktif dari kisah ini yang menjadi para penerima dari generasi setiap zaman
tidak mengetahui lagi makna kata atau unsur kepercayaan yang berada di
dalamnya. Hal ini nampak juga pada istilah-istilah ritual dan penanaman,
memiliki kata-kata arkhaik, berasal dari bahasa kuno, yang hanya digunakan
pada peristiwa pertanian, contohnya antara lain: mitembeyan, dari tembey artinya
”mulai”; dan tandur artinya ”menanam”. Ketika membajak, muncul kata mideur,
dari umideur yang artinya ”berkeliling”; dan kiya-kiya, dari gya yang artinya
”cepat”. Mite padi ini merupakan perjalanan hidup Dewi Sri sampai kepada
penjelmaannya menjadi tanam-tanaman yang sangat berguna bagi manusia,
terutama padi. Antara kisah dan perilaku masyarakat dengan mantra-mantra
merupakan mata rantai dari kepercayaan yang sangat kuno.
Tokoh penting dalam kisah ini sebenarnya adalah Dewi Sri, namun sangat
sedikit masyarakat yang menyebutnya sebagai Wawacan Dewi Sri. Dalam tradisi
sastra Sunda Lama, terdapat tokoh-tokoh penting wanita. Dalam pemberian
judul karya, tokoh wanita ini tergeser oleh tokoh laki laki, contoh antara lain
Wawacan Purnama Alam, Wawacan Suryaningrat, dan Wawacan Danumaya. Namanama
tersebut merupakan suami dari tokoh-tokoh wanita yang luar biasa.
Seperti disebut sebelumnya bahwa Nyi Sri atau Puhaci/Pohaci digunakan
untuk menyebut nama padi. Puhaci kemungkinan berasal dari kata Pwah Aci
yang disebut-sebut pada mantra padi. Dewi Sri menempati tempat tinggi
dalam alam kepercayaan masyarakat kuno yang fenomenanya masih nampak
pada masa kini. Dalam kosmologi masyarakat Kanekes di Baduy, Banten, ada
tiga Buwana atau Dunia, yang tertinggi dinamakan Buwana Nyungcung, yaitu
persemayaman Nu Ngersakeun atau ”Yang Maha Pencipta”. Persemayaman
Sunan Ambu dengan Nyi Pohaci Sanghiyang Asri sangat dekat dengan
Buwana Nyungcung, yakni sagorolong jeruk nipis atau ”sejauh gelinding jeruk
nipis”(Danasasmita et al., 1986:78).
Di dalam mantra-mantra, ada nama Dewi-dewi lain yang sering disebut
seperti, antara lain, Sunan Ambu Ratna Rarang, Pohaci Laksa Rarang, Pohaci
Mayasari, Nyi Mas Dangdayang Runday Sari Nyi Pohaci, dan Dewi Sri. Di
dalam Wawacan Sulanjana, tokoh Dewi Sri berasal dari air mata Dewa Anta
yang bentuk badannya ular. Dalam mantra sering diseru dengan nama Sang
Kokok Rarang. Penjaga padi Nagaraja sebagai Dewa Kesejahteraan atau Dewa
Kekayaan, yakni Wisnu, dan Dewi Sri sebagai Dewi Kemakmuran. Ungkapan
ini ditemukan pada Cerita Pantun Sri Sadana, sebagai berikut:
[...] ka luhur ka Sang Rumuhun, ka handap ka Sang Batara, ka Batara Naga Raja, ka Batari Naga
Sugih.
Artinya:
[...] ke atas kepada Sang Rumuhun, ke bawah kepada Sang Batara, kepada Batara Naga
Raja, kepada Betari Naga Sugih.
Ungkapan tersebut di atas memperlihatkan bahwa Wisnu dalam penjelmaan
ular Naga dengan peranan sebagai Raja Kesejahteraan dan istrinya sebagai
Dewi Kemakmuran. Itulah kemungkinan adanya simbul bambu bersilang
dari atap leuit (lumbung padi) sebagai lambang dari Naga Pateungteung (Naga
Bersilang).
Di daerah Majalengka, Jawa Barat, pada sekitar tahun 1980-an teks naskah
Wawacan Sulanjana masih sangat produktif dan digunakan untuk ritual dalam
siklus penanaman padi, mulai dari guar bumi (mencangkul), tebar (menanam
bibit), dan tandur (menanamkan bibit padi di sawah). Begitu juga pada waktu
tanaman padi keur reuneuh (sedang hamil), biji padi beuneur hejo (ketika padi
mulai bernas), dan ketika upacara nyalin (memetik ibu padi untuk penanaman
yang akan datang). Seorang penulis naskah, bernama Wangsa Hardja, yang
tulisannya sangat indah, baik dalam tulisan Latin maupun Pegon, telah menulis
teks naskan ini lebih dari satu dan hasil tulisannya antara yang satu dengan
yang lainnya terdapat perbedaan di sana-sini yang diperkirakan dia menulis
tanpa sumber karena memang sudah hafal di luar kepala. Namun karena
daya ingat tidak stabil dan kata-kata banyak memiliki sinonim, maka bacaan
satu dengan lainnya sering berbeda karena dalam memori penulis terdapat
persediaan kata lebih dari satu. Contohnya adalah: abdi-abdi dengan kuringkuring
(kami semua), kuwu sadaya lurah dengan santana (kepala desa), jung
indit dengan geus indit (silahkan/telah pergi), dan nami abdi dengan ngaran
kula (nama saya). Karena keragaman teks dalam Wawacan Sulanjana dengan
perbedaan di sana-sini namun alur kisahnya hampir sama, maka saya akan
memilih salah satu naskah tulisan Wangsa Hardja.
Di daerah Majalengka, Jawa Barat, pada awalnya untuk ritual siklus
penanaman padi seperti mitembeyan macul/guar bumi dan mitembeyan panen,
mengadakan pergelaran wayang kulit dengan lakon Dewi Sri. Namun
kemudian berganti dengan pembacaan Wawacan Sulanjana, dengan alasan
untuk penyelenggaraan ritual yang lebih murah. Di Desa Sindangkasih,
Majalengka, pada tahun 1970-an hingga tahun 1980-an, pergelaran wayang
kulit masih diselenggarakan oleh Desa. Adapun pembacaan Wawacan Sulanjana
merupakan ritual yang diadakan oleh perorangan. Anehnya, walaupun lokasi
daerah Majalengka berdekatan dengan daerah Cirebon, namun di daerah
Cirebon sendiri memiliki mite yang berbeda, yakni lakon Budug Basu. Tokoh
Budug Basu ini didalam Wawacan Sulanjana merupakan tokoh antagonis,
walaupun dianggap saudara Puhaci/Dewi Sri, karena ia selalu ingin menemui
Dewi Sri dengan cara mengganggu padi.
Kisah dalam Wawacan Sulanjana ini jelas sebuah mite padi yang berasal
dari zaman pra-Islam, adapun genre wawacan merupakan bentuk sastra Sunda
yang muncul sejak zaman Islam. Wawacan adalah cerita panjang yang digubah
dalam bentuk pupuh (nyanyian). Isi genre sastra ini sangat beragam, tidak
terbatas pada fiksi tapi ada pula yang non-fiksi. Pada tahun 1960-an, masih
ada yang menganggap bahwa wawacan bersifat sakral, tidak boleh dibaca
sembarangan, sehubungan dengan itu isi ceritanya disakralkan. Dengan
demikian, mite padi pada masa lalu disakralkan, kemudian masuk ke dalam
bentuk wawacan. Seperti disebut sebelumnya, wawacan ini berkembang seiring
dengan perkembangan Islam. Walaupun kisahnya tidak selalu menceriterakan
tentang Islam, namun terdapat keberpihakan kepada Islam. Sebagai contoh,
apabila terjadi perang maka raja yang dimenangkan adalah raja yang sudah
memeluk agama Islam.
Di dalam Wawacan Sulanjana ada pula upaya untuk melegitimasi dengan
Islam yaitu menyajikan kolofon berupa informasi indeksal atau informasi yang
mengarahkan. Pada bagian itu diungkapkan bahwa kisah merupakan Carita
Sajarah Nabi dan diambil dari kisah yang berbahasa Arab. Kemudian awal
pengisahan dimulai dari kisah Nabi Adam dan Babu Hawa yang berputra 40
orang, lalu di antara putranya ada yang menurunkan Sanghiyang Tunggal
atau Batara Guru yang diserahi jagat.
Di dalam Wawacan Sulanjana bagian akhir terdapat ungkapan yang ada
hubungannya dengan padi, beras, dan nasi. Diceritakan bahwa Dewi Nawang
Wulan kembali ke Kahiyangan karena suaminya, yaitu Prabu Siliwangi,
melanggar janji untuk tidak mengganggu pasakan padi. Ungkapan tersebut
adalah sebagai berikut:
Ayeuna Gamparan kudu, marentah ka abdi-abdi, ka para kuwu sadaya, nyieun dulang reujeung
hihid, boboko sareng aseupan, pangarih sareng ceceting, nuar jati pikeun lisung.
Artinya:
Kini Tuanku harus, memerintahkan kepada rakyat, kepada semua lurah, membuat
dulang (tempat membolak-balik dan mendinginkan nasi) dengan hihid (kipas bertangkai
dari anyaman bambu), bakul dan kukusan, pangarih (alat dari kayu untuk membolakbalik
karon atau nasi) dengan bakul kecil, memotong pohon jati untuk membuat lesung
(Kalsum, 1991).
Dari gambaran ini nampak bahwa tradisi memasak nasi, yang fenomenanya
masih tampak sekarang, berasal dari mite tentang padi. Kemudian pada zaman
Islam, diperkirakan periode awal Islamisasi, terjadi perubahan pada mantra,
yaitu adanya legitimasi dengan Islam seperti terdapat pada sebuah mantra yang
tertulis di dalam sebuah naskah yang berjudul Rarakaan Nyi Pohaci (Pasangan
Nyi Pohaci). Isi mantra tersebut adalah sebagai berikut:
Hihid pangeper iman, nyiru tamprak ning iman, dulang ketuk ning iman, parako bengker ning
iman, hawu dungkuk ning iman, suluh solosod ning iman, seeng kukus ning iman.
Artinya:
Kipas sebagai penyebar iman, nyiru atau tempat membersihkan beras dari kulit-kulit padi
sebagai lapangan iman, dulang atau tempat membolak-balik nasi sebagai menonjolkan
iman, parako atau tempat memasak nasi sebagai benteng iman, abu bakar sebagai peneguh
iman, kayu sebagai kepanjangan iman, dandang atau tempat memanaskan air untuk
memasak nasi sebagai asap iman (Kalsum, 1991).
Dari ungkapan tersebut nampak bahwa alat-alat menanak nasi diharapkan
mampu menguatkan iman. Kata iman dikenal pada ajaran Islam, dengan istilah
rukun iman atau dasar-dasar iman sebanyak 6, yakni: (1) iman kepada Allah,
(2) iman kepada para Nabi, (3) iman kepada Kitab Suci, (4) iman kepada para
Malaikat, (5) iman kepada Hari Kiamat, serta (6) iman kepada Usaha Manusia
dan Takdir Allah
Mantra yang ada dalam kelisanan antara lain adalah Mantra Mitembeyan.
Bunyi mantra tersebut adalah sebagai berikut:
Punika waruga jisim, nu gaduh tulis angling putih, mijangkar sahadat, Asyhadu Alla Ilaa Ha
Illalloh, Wa Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah, mitangkal iman, misalompit taohid, midaun
hurip, mipucul cahaya, mibuah rasa, panon holang pangawasa [...]. Nyi Mas Pohaci Sanghiang Sri,
jangkaring Sahadatullah, hurip gedong-peteng iman, panon holang sira jati ing inget, sira hirrasa
kaniatan yukti, tumunggang dadya hurip.
Artinya:
Itulah diri manusia, yang mempunyai tulisan suci, memperkuat syahadat, Aku Bersaksi
bahwa Tidak Ada Tuhan Selain Allah, dan Aku Bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah
Utusan Allah, pohon iman, susunan tauhid, daun kehidupan, memancarkan cahaya,
menghasilkan rasa, laksana mata elang yang perkasa [...]. Nyi Mas Pohaci Sanghiang Sri,
kekuatan syahadat kepada Allah, hidup dalam gedungnya iman, mata hati Anda tetap
ingat, niat Anda merasa yakin, naiklah menjadi kehidupan (Kalsum, 1991).
Demikianlah penghormatan terhadap padi yang bertransformasi seiring
dengan perubahan agama dan kepercayaan masyarakat di sekitarnya dari
masa ke masa.
PARAFRASE WAWACAN SULANJANA
Syahdan, diceritakan bahwa Batara Guru dengan patih Narada mendirikan
Bale Pancawarna. Dewa Anta yang badannya ular tidak bisa melaksanakan
tugas. Ia menitikkan air mata, lalu menjadi tiga butir telur. Talur-telur itu
dikulumnya dan akan disampaikan kepada Batara Guru. Namun di perjalanan
ia disapa oleh burung elang. Dewa Anta tidak bisa menyahuti sapaan elang
itu karena mengulum telur, lalu ia disambar oleh elang dan satu telur jatuh
di Tegal Kapapan, satu lagi jatuh di Tanah Sabrang menjadi Kala Buwat dan
Budug Basu. Di Tegal Kapapan, Idajil kencing dan sapi betina meminumnya,
lalu sapi tersebut pun hamil, dan kemudian melahirkan Sapi Gumarang yang
sangat sakti. Sapi Gumarang merajai binatang, ia mengangkat Kala Buwat dan
Budug Basu sebagai anak. Satu telur yang tinggal diserahkan kepada Batara Guru.
Dewa Anta ditugaskan untuk mengerami, lalu telur menetas dan menjadi seorang
Putri yang sangat cantik. Putri itu diserahkan kepada Batara Guru dan diberi nama
Puhaci Terus Dangdayang atau Dewi Aruman. Puhaci disusui oleh Dewi Umah,
istri Batara Guru, dan diasuh oleh Dewi Esri.
Dewi Puhaci semakin cantik, Narada curiga kalau-kalau Batara Guru akan
mengawini Dewi Puhaci. Bila itu terjadi maka Batara Guru melanggar hukum
karena Dewi Puhaci disusui oleh Dewi Umah, istrinya, yang berarti Dewi
Puhaci adalah anak Batara Guru juga. Untuk menghindari perbuatan tercela
itu maka Dewi Puhaci dihentikan menyusu dan sebagai penggantinya diberi
buah holdi. Dewi Puhaci ternyata tidak diberi buah holdi lagi, ia kemudian sakit
karena ketagihan, dan akhirnya meninggal dunia. Mayat Dewi Puhaci diurus
oleh Bagawat Sang Seri.
Dari pekuburan Dewi Puhaci tumbuh pohon kelapa dari kepalanya;
bermacam-macam buah berwarna hijau, kuning, dan merah dari telinganya;
bermacam-macam ketan dari mata dan rambutnya; pohon enau dari tangannya;
bermacam-macam bambu dari jarinya; bermacam-macam tumbuhan merambat
dari tali ari-arinya; buah-buahan dari susunya; dan rerumputan dari bulunya.
Semar kemudian ditugaskan untuk membawa semua tanaman itu ke Pakuwan
untuk ditanam dan dijaganya baik-baik. Negara Pakuwan kemudian menjadi
subur dan makmur.
Istri Ratu Pakuwan Prabu Siliwangi seorang bidadari bernama Dewi
Nawangwulan, putri Batara Guru. Ia dipercayakan memasak padi untuk rakyat
Pakuwan dan mengajarkan bagaimana cara memasak padi. Prabu Siwangi
tidak boleh mengganggu atau membuka pasakan itu dan apabila melanggar
janji maka jatuhlah talak kepada Dewi Nawangwulan.
Budug Basu yang berada di Tegal Kapapan mencari Puhaci, saudaranya
yang berada di Suralaya. Para Dewa mengetahui maksud Budug Basu,
karenanya semua pintu ditutup rapat-rapat. Dengan kesaktianya, pintupintu
itu ditendangnya sehingga hancur. Budug Basu kemudian dikepung
oleh para Dewa, akan tetapi ia bisa lolos dan sampai di puri Batara Guru. Ia
kemudian menanyakan Puhaci. Batara Guru menjelaskan bahwa Puhaci sudah
meninggal dunia. Kalamulah dan Kalamuntir ditugaskan oleh Batara Guru
untuk mengantarkan Budug Basu ke kuburannya di Banyu Suci. Budug Basu
kemudian mengelilingi kuburan Dewi Puhaci itu selama tujuh keliling, lalu
meninggallah ia.
Batara Guru menugasi Kalamulah dan Kalamuntir untuk menggotong
mayat Budug Basu tersebut mengelilingi dunia sebanyak tujuh keliling, dan
sebelum sampai mereka tidak boleh kembali. Di bawah pohon gebang, mereka
berhenti. Dahan gebang itu patah dan menimpa tambela (peti mayat). Dari dalam
tambela keluarlah binatang-binatang darat dan bermacam-macam binatang laut.
Kalamulah dan Kalamuntir tidak kembali ke Suralaya karena takut dihukum
oleh raja. Mereka mengadakan pembagian tugas, seorang menjaga binatangbinatang
darat dan seorang lagi menjaga binatang-binatang laut, tambela sendiri
kemudian berubah menjadi badak.
Ketika Puhaci masih hidup, Batara Guru mengeluarkan kama, kemudian
jatuh ke bumi tujuh, dari dalam bumi keluarlah tiga orang manusia, seorang
laki-laki bernama Sulanjana, dan dua orang perempuan bernama Talimendang
dan Talimenir. Ketiga anak itu dipelihara oleh Dewi Pertiwi, setelah besar
mereka mencari ayahnya ke Suralaya. Batara Guru menitipkan kerajaan kepada
Sulanjana karena akan mengontrolpadi. Ia dengan Narada menjelma menjadi
burung pipit dan menyerang padi. Semar dan anak-anaknya melempari
burung-burung tersebut, namun burung pipit itu sangat tangkas sehingga Semar marah.
Ia memukul-mukul batang dan ranting pohon enau dengan arit, tetapi tidak patah
malahan keluar air manis.
Dempu Awang dari Negara Sabrang akan membeli padi ke Pakuwan, ia
diterima oleh Kaliwon kemudian diantarkan kepada Prabu Siliwangi. Prabu
Siliwangi tidak melayani pembelian itu karena padi bukan miliknya, ia hanya
titipan, milik Batara Guru. Dempu Awang sakit hati, dan ia meminta tolong
Sapi Gumarang untuk merusak padi. Sapi Gumarang, Kala Buwat, Budug Basu
dengan anak buahnya kemudian menyerang padi. Batara Guru mengetahui keadaan padi
yang ada di Pakuwan dalam keadaan terancam. Ia kemudian menugasi Sulanjana,
Talimendang, dan Talimenir untuk menahan serangan tersebut, dan padi sehat kembali.
Sapi Gumarang marah, malu oleh Dempu Awang, dirusakkan kembali padi-padi
itu. Setelah rusak, padi disembuhkan kembali oleh Sulanjana. Berkali-kali padi
dirusakkan, namun disembuhkan kembali oleh Sulanjana. Kemarahan Sapi
Gumarang pun sampai pada puncaknya, ia mengajak perang tanding dengan
Sulanjana. Sapi Gumarang kalah. Ia berjanji akan mengabdi kepada Sulanjana
dan akan menjaga padi, asal setiap memulai penanaman padi, namanya
disambat (dipanggil secara bathin) dengan kedua anaknya, yaitu Kala Buwat
dan Budug Basu, serta disediakan daun paku pada pupuhunan (persyaratan
untuk menanam padi).
Pada suatu waktu, Dewi Nawangwulan sedang memasak nasi. Prabu
Siliwangi penasaran ingin melihat pasakan istrinya itu. Ia sangat heran karena
masak satu tangkai padi cukup untuk orang banyak. Maka dibukalah pasakan
padi tersebut. Dewi Nawangwulan sangat kaget karena pasakannya masih
berupa tangkai padi. Ia maklum apa yang telah terjadi, dan ia pun kembali ke
Kahiyangan. Sebelum meninggalkan Kahiyangan, ia berpesan agar disediakan
lesung, dulang, kipas, bakul, dan kukusan untuk memasak padi. Lesung harus
dilubangi panjang dan dua lubang bulat di pinggir untuk tempat Talimendang
dan Talimenir.
Dengan sedih dan menyesal Prabu Siliwangi pergi ke Suralaya untuk
menghadap Batara Guru dan memohon supaya Dewi Nawangwulan
dikembalikan. Dewi Nawangwulan tidak bisa kembali. Batara Guru kemudian
mengajarkan saat yang baik untuk memulai bercocok tanam padi.
Setelah tamat, tertulis Kidung Salamet (nama menurut penuturan pemilik
naskah) dengan Bahasa Jawa dalam Pupuh Dandanggula sebanyak 8 pada atau
bait. Setelah kata ”tamat” tertera nama penulis dan titi mangsa, Wangsa, tanggal
17-5-1965 (naskah sengaja dipilih yang paling muda untuk menggambarkan
bahwa sekitar kurun waktu itu, kisah ini masih disakralkan dan dianggap memiliki
daya magis karena masih dipakai pada ritual siklus penanaman padi).
MAKNA PENGHORMATAN KEPADA DEWI PUHACI
DI DALAM WAWACAN SULANJANA
Tema atau ide dasar kisah ini ialah pemujaan terhadap Dewi Sri/Dewi
Puhaci/Dewi Padi sebagai makanan pokok. Istilah ”pemujaan” di dalam tema
diartikan bahwa padi merupakan tanaman yang mulia, berasal dari Dewi yang
dimuliakan oleh tokoh-tokoh mulia lainnya, antara lain Batara Guru, Prabu
Siliwangi, dan Semar. Tema mengenai makanan pokok merupakan tema khas
dan merupakan pemikiran luhur atas kehidupan. Masalah makanan pokok
tidak banyak dibicarakan, baik didalam sastra kuna dan sastra lama maupun
sastra modern. Padahal makanan pokok merupakan persoalan kemanusiaan
yang sangat mendasar karena menyangkut kebutuhan seluruh umat manusia.
Tema tersebut menggugah semangat menuju kesejahteraan umat manusia
secara semesta yang maknanya merupakan kebenaran semesta, yaitu ”jangan
menyepelekan, menyia-nyiakan puhaci/padi sebagai makanan pokok”,
karena ianya merupakan kebutuhan pokok manusia, baik miskin ataupun
kaya. Apabila makanan pokok terganggu maka kesejahteraan umat manusia
terganggu pula, terlebih lagi golongan orang miskin.
Amanat utama dalam tema ini didukung oleh sejumlah peristiwa yang
bisa dimaknai secara implisit (tersirat). Dalam masyarakat Sunda, sering
mencetuskan keinginan, perasaan, khayalan, dan atau saran yang tidak
diucapkan secara langsung akan tetapi digunakan dengan berbagai kiasan,
baik berupa lisan maupun berupa perbuatan, seperti dengan memanjatkan
doa yang tersirat dalam sesajen dan menyarankan sesuatu dengan ungkapan
pamali (tabu). Kebiasaan ini merupakan strategi wacana dengan maksud
agar para pendengar secara sukarela, tidak terpaksa, melakukan apa yang
diinformasikan. Adapun peristiwa-peritiwa tersebut adalah sebagai berikut:
Dewi Puhaci dilahirkan, dibesarkan, dan meninggal dunia di Suryalaya.
Suryalaya atau Kahiyangan, tempat tinggal para Dewa, tingkatannya lebih
tinggi daripada dunia. Suryalaya selalu dijaga dari aib dan dosa. Tingginya
tingkatan bermakna bahwa Suryalaya sebagai pendukung kemuliaan Dewi
Puhaci. Setelah Dewi Puhaci meninggal, ia dikuburkan di Tegal Si Banyu Suci
(Padang Air Suci), kemudian setelah menjelma menjadi padi, ia dikirim ke
Pakuwan. Dewi Puhaci selalu menempati tempat yang dimuliakan. Suryalaya
merupakan ”Dunia Atas”; Tegal Si Banyu Suci merupakan tempat suci di
Suryalaya; dan Pakuwan merupakan kerajaan kebanggaan masyarakat Sunda
yang disakralkan. Semua tempat-tempat tersebut merupakan daerah yang
mulia di hati masyarakat Sunda yang memiliki efek kesakralan bagi Dewi
Puhaci. Perkara ini mengisyaratkan bahwa pemujaan terhadap Dewi Puhaci/
Dewi Padi sebagai makanan pokok harus ditempatkan sebagai perkara
kemuliaan dan harus diupayakan perlindungannya dengan kesucian hati.
Dewi Nawangwulan menyarankan agar membuat lesung dengan lubang
panjang dan lubang kecil pada dua buah di sisi untuk tempat Talimendang
dan Talimenir. Talimendang merupakan sebuah lambang yang mengingatkan
pada mata mendang (kulit padi yang masih tersisa dalam beras), dan Talimenir
berarti beras menir atau beras yang kecil-kecil. Saran itu mengandung makna
yang mengarahkan bahwa jangan menyepelekan beras walaupun dalam
jumlah kecil, andaikata diri sendiri tidak membutuhkan maka tempatkanlah,
kumpulkanlah, jangan dibuang-buang, karena beras merupakan makanan
pokok dan masih banyak orang miskin yang membutuhkannya. Di dalam
kepercayaan masyarakat Sunda, barang siapa yang suka memakan beras
menir maka ianya akan menjadi kaya. Informasi ini mengandung indeksal
(mengarahkan) dan secara tersembunyi merupakan anjuran agar tidak boleh
membuang-buang beras, walaupun dalam jumlah kecil.
Semar ditugaskan oleh Batara Guru untuk menjaga padi. Tokoh
Semar ini menyandang sifat kemuliaan yang sangat banyak. Semar merupakan
Tokoh arif Nusantara yang berasal dari masa pra Hindu-Buddha. Semar merupakan
penghubung antara dunia atas dengan dunia bawah, dan Semar bisa meruwat
atau mengeluarkan dari bencana para Dewa dan umat manusia. Semar
juga diyakini sebagai Dewa Kesuburan (Mulyono, 1982:28-29). Kemuliaan
lain yang ada hubungannya dengan makanan pokok adalah bahwa Semar
merupakan lambang pemimpin yang sabar, Badranaya, tokoh yang tidak
tergiur oleh keduniawian seperti pangkat dan kekayaan dunia. Ketika muncul
kisah Ramayana dan Mahabarata dari India dan kisah itu dipergelarkan dalam
pertunjukan wayang kulit atau wayang golek, tokoh Semar tetap menyandang
sejumlah kearifan yang tidak dimiliki oleh tokoh-tokoh pewayangan lainnya.
Hal ini mengandung makna bahwa padi, untuk kesejahteraan umat manusia,
harus dijaga oleh orang yang betul-betul jujur, orang yang tidak tergiur oleh
kekayaan.
Prabu Siliwangi menolak permintaan Dempu Awang untuk membeli padi.
Hal ini mengandung makna bahwa padi harus dijaga dari keserakahan jual-beli
perdagangan. Di dalam jual-beli tidak mengenal saudara, tidak mengenal belaskasihan,
dan tidak mengenal rasa sosial. Padi harus dijaga dari keserakahan
tersebut karena menyangkut kesejahteraan umum. Prabu Siliwangi merupakan
tokoh yang sangat kharismatik dalam kenangan masyarakat Sunda. Hal ini bisa
dilihat dari berbagai folklor, antara lain mantra dan ceritera rakyat mengenai
kesaktian, keadilan, dan pengayoman Prabu Siliwangi terhadap rakyat.
Tokoh ini dihadirkan dalam kisah dan menyiratkan bahwa perlindungan
atas makanan pokok harus diupayakan oleh pemimpin negara dengan
mengindahkan berbagai kearifan untuk melindungi masyarakatnya dari
bencana kekurangan bahan makanan.
Tegal Kapapan didiami oleh tokoh-tokoh perusak padi. Kapapan berasal
dari morfem dasar papa (Bahasa Sansekerta) yang berarti dosa. Tegal Kapapan
mempunyai arti tempat atau daerah orang-orang berdosa. Hal ini mempunyai
makna bahwa perusak padi adalah orang-orang yang berdosa. Dalam arti yang
lebih luas lagi bahwa yang mengguncangkan kesejahteraan manusia adalah
hal-hal yang ada hubungannya dengan makanan pokok dan ianya merupakan
tokoh-tokoh yang berdosa dan dilaknat oleh Tuhan.
Cerita berakhir dengan penyelesaian, yakni semua tokoh menjaga
keselamatan Dewi Puhaci/Dewi Sri/Dewi Padi, baik tokoh yang memiliki
karakteristik baik maupun sebaliknya. Peristiwa ini mengandung makna bahwa
semua orang memiliki tanggung jawab dalam melindungi makanan pokok,
manusia mempunyai kewajiban untuk menjaga kesejahteraan umat manusia,
karena kehancuran manusia diciptakan oleh manusia itu sendiri.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kearifan lokal terhadap kemajuan, kesejahteraan dan kemakmuran
masyarakat kiranya sudah dipikirkan sejak zaman kuno, zaman pra Hindu-
Buddha dengan bukti-bukti masih terdokumentasikannya sikap masyarakat
Sunda dalam folklor dengan tokoh kesuburan, yaitu Semar. Kemudian masuk
agama Hindu-Buddha, kisah ini diperkaya dengan hadirnya tokoh Dewi
Kesuburan (Sri) dan Dewa Kesejahteraan (Wisnu). Terakhir masuknya agama
Islam, kisah yang berkaitan dengan perlindungan terhadap makanan pokok
diwarnai oleh nuansa Islam yang, di antaranya, pada masyarakat Sunda lahir
dalam mantra naratif Wawacan Sulanjana. Dalam kisah ini banyak terdapat
indikator Islam seperti adanya Buah Koldi, serta pada kolofon disajikan silsilah
keturunan Nabi Adam.
Folklor tentang kearifan lokal ini tidaklah berdiri sendiri, namun
diungkapkan dalam perilaku masyarakat Sunda yang diturunkan dari
masa ke masa, yakni adanya ritual, mantra untuk siklus penanaman padi,
sejumlah keharusan dan tabu. Kiranya semua ini merupakan mata rantai
yang saling berkaitan yang diusung oleh budaya masyarakat dilapisi oleh
agama dan kepercayaan dari masa ke masa. Kearifan lokal pada masa kuno,
yang fenomenanya masih tampak pada masa kini, seyogyanyalah dipelihara
dan dijaga walaupun perkembangan teknologi sangat pesat dalam pertanian
dan proses pengerjaan dari padi ke beras, dan memasaknya. Makanan pokok
tetap harus dilindungi oleh pemerintah dari keserakahan. Lebih luas lagi
pemerintah hendaknya mendorong kemajuan, serta mengayomi kesejahteraan
dan kemakmuran masyarakat.
Bibliografi
Bakker, Anton. (2008). Antropologi Metafisik. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, edisi ke-6.
Cavallaro, Dani. (2004). Teori Kritis dan Teori Budaya. Terjemahan. Yogyakarta: Futuh Printika.
Danandjaja, James. (1984). Folklor Indonesia. Jakarta: P.T. Grafiti Pers.
Danasasmita, Saleh et al. (1986). Sawaka Darma Sanghiyang Siksakandang Karesian: Amanat Galunggung.
Bandung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Ekadjati, Edi S. et al. (1985). Naskah Sunda: Inventarisasi dan Pendataan. Bandung: Lembaga Penelitian
UNPAD [Universitas Padjadjaran] dan The Toyota Foundation.
Gazaldun. (1974). Amanat Dewi Sri. Jakarta: Balai Pustaka.
Hartoko, Dick. (1975). Saksi Budaya. Jakarta Pusat: Dunia Pustaka Jaya, edisi pertama.
Kalsum. (1983). “Analisis Wawacan Sulanjana dari Kecamatan Sulanjana”. Skripsi Sarjana Tidak
Diterbitkan. Bandung: Fakultas Sastra UNPAD [Universitas Padjadjaran].
Kalsum. (1991). Makna Mantra Pertanian Jawa Barat Bagian Timur. Bandung: Fakuktas Sastra UNPAD
[Universitas Padjadjaran].
Kalsum et al. (2001). Transkripsi, Translitrasi dan Terjemahan Naskah Kuno: Wawacan Carios Sawargaloka.
Bandung: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jawa Barat.
Kalsum. (2006). “Wawacan Batara Rama: Edisi Teks, Kajian Struktur dan Intertekstualitas”.
Disertasi Doktor Tidak Diterbitkan. Bandung: Program Pascasarjana UNPAD [Universitas
Padjadjaran].
Mulyono, Sri. (1982). Apa dan Siapa Semar? Jakarta: Gunung Agung.
Purwoko, Herudjati. (2008). Discourse Analysis: Kajian Wacana bagi Semua Orang. Jakarta: P.T. Indeks
dan P.T. Macanan Jaya Cemerlang, edisi pertama.
Ras, Johannes Jacobus. (1968). Hikayat Banjar: A Study in Malay Historiography. ’s-Gravenhage: N.V.
De Nederlandsche Boek en Drukkery v/h H.L. Smits.
Suratkabar Pikiran Rakyat. Bandung: 31 Maret 1991.
Robson, S.O. (1978). Filologi dan Sastra-sastra Klasik Indonesia. Tugu-Bogor: Antara Aksara.
Wessing, Robert. (1990). Sri and Sadana and Sita and Rama: Myth of Fertility and Generation. Nijmegen:
Katholieke Universiteit.
Wojowasito, S. (1976). Sejarah Kebudayaan Indonesia. Bandung: Shinta Dharma.
Zoest, Aart van. (1990). Fiksi dan Nonfiksi dalam Kajian Semiotik. Jakarta: Intermasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar