Rabu, 22 Februari 2012

Syeikh Syamsuddin as Sumatrani, Tokoh yang Menghidupkan Peradaban Melayu oleh Malikus Senoadi Widyatama


Syeikh Syamsuddin as Sumatrani, Tokoh yang Menghidupkan

Peradaban Melayu oleh Malikus Senoadi Widyatama

SUMBANGAN pemikiran Islam bagi peradaban Melayu Nusantara sangat besar. Terbukti dengan banyaknya kitab yang dihasilkan dan telah menjadi inspirasi dalam kehidupan bernegara. Syeikh Syamsuddin as Sumatrani, seorang mufti besar yang dimiliki oleh Melayu Nusantara, telah menandai peradaban Melayu Nusantara dengan catatan tinta emas.

Pemikiran ulama digunakan membangun peradaban Melayu Nusantara. Tapi jalannya sejarah, pemikiran tersebut banyak dikubur, bahkan jaman kolonial, usaha untuk mendangkalkan ajaran Islam begitu getol dengan memasukkan pemikiran-pemikiran yang meracuni masyarakat.

Saat ini, kita sebagai pewaris peradaban Melayu Nusantara, penting menggali dan menemukan kembali pemikiran-pemikiran ulama besar yang telah membawa peradaban Melayu Nusantara ke derajad yang tinggi di antara peradaban dunia yang lain.

Aceh Darussalam , di antara kerajaan Melayu Nusantara yang mengalami masa gilang gemilang, terutama ketika dipimpin Sultan Iskandar Muda (1607-1636), berhasil pencerahan dalam seluruh aspek kehidupan masyarakatnya, karena saat itu Mufti yang hidup sejaman adalah Syamsuddin as Sumatrani.

Syeikh Samsuddin as Sumatrani sebenarnya sudah ada sejak masa Sultan Al Mukammal (1588-1604 M). Kemudian beliau juga mengalami dua kali masa suksesi kepemimpinan, yaitu suksesi kepemimpinan dari Sultan Al Mukammal kepada Sultan Ali Ri’ayat Syah dan suksesi kepemimpinan dari Sultan Ali Ri’ayat Syah kepada Sultan Iskandar Muda. Perlu dicermati di sini, bahwa pengalaman berada pada dua masa suksesi kepemimpinan dan tiga masa kepemimpinan yang berbeda akan memperkaya pemikiran Syamsuddin as Sumatrani dalam bidang kenegaraan.

Jejak pemikiran di bidang kenegaraan yang bisa kita lihat adalah adanya kodifikasi hukum Meukuta Alam merupakan sebuah prestasi yang diakui oleh seluruh dunia. Kemasyhuran peraturan hukum Meukuta Alam dikenal mulai dari negeri Tiongkok sampai ke negeri Inggris. Bahkan banyak negeri tetangga yang mengambil peraturan Meukuta Alam sebagai teladan bagi hukum mereka, karena peraturan tersebut berunsur kepribadian yang dijiwai sepenuhnya oleh hukum-hukum agama (Mohammad Said: 1981).

Keberhasilan membuat kodifikasi hukum Meukuta Alam ini tentunya tidak terlepas dari siapakah mufti besar pada masa itu. Syamsuddin as Sumatrani pada masa Sultan Iskandar Muda berkedudukan cukup tinggi, karena beliau selain sebagai Qadli Malikul Adil atau sebagai orang nomor dua dalam kerajaan, juga sebagai Ketua Balai Gading yang beranggotakan 7 ulama dan 8 Uleebalang (A.Hasjmi: 1983). Peranannya tidak hanya dalam bidang agama tetapi juga mengambil peranan dalam soal dalam negeri bahkan politik luar negeri. Mungkin bisa dikatakan sebagai Perdana Menteri dalam sistem parlementer.

As-Sumatrani, seorang negarawan. Bagaimana perannya dapat dilihat dalam “The Voyages of Sir James Lancaster” menyebutkan kesan-kesan Lancaster terhadap Syeikh Syamsuddin.

Suatu dialog antara Lancaster dengan Syekh Syamsuddin as Sumatrani pada saat pembicaraan perdagangan antara kedua kerajaan. Bertanya Syeikh Syamsuddin: “Tuan, apa alasan Tuan, yang kiranya dapat kita ajukan kepada Sultan, untuk meyakinkan baginda supaya beliau bersedia menyetujui permintaan Tuan”. Selanjutnya pada saat itu Syekh Syamsuddin menyarankan supaya alasan-alasan dimaksud dijelaskan secara tertulis, dan akan dipersembahkan kepada Sultan”(1877, dalam Mohammad Said:1981 ).

Penjelasan terhadap bahan yang ditulis dari luar negeri, sudah bisa memberikan kesan bahwa, Syeikh Syamsuddin as Sumatrani memiliki kedudukan sebagai juru runding dalam urusan ekonomi dan politik luar negeri kerajaan Aceh Darussalam. Suatu kedudukan yang tinggi dalam urusan kenegaraan. Tanpa adanya kepercayaan yang diberikan oleh Sultan, tidak mungkin seseorang bisa melakukan pembicaraan yang bersifat politis dengan pihak dari luar.

Untuk sisi kenegaraan dalam bidang hukum, maka bisa kita temukan peran-peran yang sangat penting dari seorang Syamsuddin as Sumatrani. Hukum memerlukan suatu studi aspek filosofis, aspek sosiologis, serta aspek yuridis. Seluruh aspek tersebut akan membantu menyusun kalimat-kalimat hukum yang akan diberlakukan di dalam masyarakat. Apabila hukum Meukuta Alam merupakan hukum yang dijiwai sepenuhnya oleh hukum agama Islam, maka kedudukan fiqih dan syariah merupakan bagian yang paling penting dalam aspek filosofis dan aspek yuridis dari Meukuta Alam.

Jejak pemikiran
Seorang besar akan dinilai dari tiga hal. Pertama, kemampuan dia untuk menghasilkan pemikiran yang diikuti oleh orang pada jamannya, Kedua, membangun suatu sistem yang diakui tidak hanya dari dalam melainkan dari luar. Ketiga, pemikirannya ditujukan untuk kebaikan dan dapat bertahan dalam kurun waktu yang lama. Coba ketiga hal itu kita jadikan sebagai pedoman untuk membedah seberapa masa Sultan Iskandar Muda dan Syeikh Syamsuddin as Sumatrani.Beberapa kitab karangan Syamsuddin as Sumatrani yang bisa kita ketahui adalah : Miratul Mukminin (cermin perbandingan bagi mukmin), Jauharul Haqaaiq (permata kebenaran), Risalatun Baijin Mulahdhatil Muwwahidin Alal Mulhidi Zikrillah (tinjauan ahli-ahli tauhid terhadap orang-orang sesat mengingat Allah), Kitabul Harakah, Nurul Daqaaiq (cahaya yang murni), Miratul Imam (cermin keimanan), Syiratul Miratul Qulub (uraian tentang cermin segala hati), Kitab Tayzim, Syar’ul Arifin, Kitabul Ushulut Tahqiq (kitab dasar-dasar penguat), Miratul Haqiqah (cermin hakikat), Kitabul Martabah (kitab tentang martabat manusia), Risalatul Wahhab (risalah tentang Mahapemberi), Miratul Muhaqiqin (cermin para ahli pembukti), Tanbihul’lah (peringatan Allah), Sjarah Ruba’i Hamzah Fansury (uraian dan tafsir tentang buku Hamzah Fansury berjudul Ruba’i Fansury).

Ada sebuah pepatah mengatakan bahwa Perbuatan yang dilakukan merupakan cerminan dari apa yang dibaca. Maka apabila kita melihat kondisi pada waktu masa Sultan Iskandar Muda yang begitu gilang gemilang, akan sangat dipengaruhi dengan bacaan (pemikiran) yang berkembang pada saat itu. Begitu banyaknya kitab yang ditulis oleh Syeikh Syamsuddin as Sumatrani menggambarkan bahwa beliau seorang yang produktif dalam pemikiran, dan hasil pemikirannya pun merambah ke berbagai aspek kehidupan masyarakat dan kenegaraan.

Pertanyaan kita, selaku masyarakat Melayu Nusantara, mengapa pemikiran beliau seolah terkubur di antara tumpukan pemikiran-pemikiran yang lain? Bukankah menjadi tugas kita bersama untuk menghidupkan serta menghidup-hidupkan pemikiran yang sudah jelas telah membawa Peradaban Melayu Nusantara duduk berjejer dengan peradaban dari wilayah lain. Entahlah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar